Sabtu, 28 Agustus 2010

PERADILAN

ALAT BUKTI PERADILAN

A. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk sosial artinya manusia tidak dapat hidup sendiri. Dengan kata lain manusia hidup memerlukan bantuan orang lain. Singkatnya, manusia memerlukan orang lain untuk mempertahankan kehidupannya, tidaklah mungkin ada orang yang dapat hidup sendirian tanpa interaksi dengan orang lain.
Dalam berinteraksi dengan orang lain pasti terdapat konflik kepentingan antara orang yang satu dengan yang lainnya. Karena setiap orang mempunyai keinginan, keperluan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga terjadilah perselisihan dalam kehidupan bersama apabila terdapat konflik kepentingan.
Dalam suatu proses beracara di pengadilan, salah satu tugas hakim adalah untuk menetapkan hubungan hukum yang sebenarnya antara pihak yang berperkara.
Setelah melalui proses selama persidangan dengan adanya bukti-bukti sehingga salah satu dari pihak yang berperkara, hakim akan memutuskan siapa saja yang dianggap melawan hukum dan putusan apa yang akan diambil oleh hakim untuk menjeratnya.
B. Pembahasan
Seorang dalam sidang mengenai perkara tentunya dari yang berperkara mempunyai masalah dalam hukum, dari masalah tersebut berlanjut dipenyelidikan dan mencari bukti-bukti yang otentik sehingga seorang tersebut bisa dikatakan sebagai tersangka, terdakwa atau yang lainnya.
Kasus di Pengadilan terdapat dua yaitu perkara perdata dan perkara pidana, dari perkara perdata tidak dibutuhkan seorang Jaksa sedangkan perkara pidana kebalikannya.
Dalam peradilan seorang hakim memberikan putusan atas orang yang berperkara, naman sebelum memberikan putusan, hakim harus mengumpulkan bukti-bukti yang diantaranya sebagai berikut:
1. Alat bukti surat – surat: Alat bukti surat adalah segala sesuatu yang memuat tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang yang di pergunakan sebagai pembuktian.
Alat bukti berupa surat-surat sebagai mana terdapat dalam Surat al- Baqarah (3) : 282 sebagai berikut :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ.
Terjemahnya: “Wahai orang–orang yang beriman apabila kamu melakukan utang–piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar, janganlah penulis menolak untuk menulis sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, maka hendaklah orang yang berhutang itu mendiktekan, dan hendaklah dia bertakwa kepada Allah”.
Ayat di atas dapat disimpulkan bahwa Islam menetapkan perlunya mendokumentasikan misalnya dalam bentuk tulisan berbagai peristiwa-peristiwa penting yang terjadi diantara manusia karena itu sangat beralasan kalau tulisan atau surat-surat dijadikan sebagai salah satu alat bukti.
2. Alat bukti saksi: dimaksudkan bahwa saksi adalah orang yang betul-betul sebagai saksi karena menyaksikan sendiri suatu perkara maka dinilai bahwa kesaksian tersebut adalah merupakan salah satu bukti dalam hukum sebagai pembuktian.
عن ابنى عبّاس , أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قضى بيمين وشاهد.
Artinya: “Bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulallah saw, telah memutuskan perkara dengan sumpah dan seorang saksi(laki-laki)”.
Selain dari Hadits di atas juga mengenai tentang saksi terdapat pada al-Qur’an Surat al-Baqarah Ayat 282:
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَاأَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى وَلا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا…
Terjemahnya:“…Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantaramu). Jika tak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil…”.

setiap saksi yang memberikan kesaksiannya di depan hakim hendaknya memperoleh jaminan keamanan baik jiwa, harta dan kehormatannya. Karena setiap kesaksian dipandang wajib bagi setiap orang yang memiliki pengetahuan akan perkara yang ia ketahui secara pasti tentang kebenaran tersebut.
Sehingga dengan adanya kesaksian dari saksi tersebut diharapkan akan terungkapnya suatu kebenaran diantara pihak-pihak yang berperkara dengan sebab itulah maka berdosa hukumnya bagi orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi menolak untuk tidak memberikan kesaksiannya, berdasarkan firman Allah swt di dalam Al-Qur’an Q.S. al Baqarah (2) 283 yaitu :
… وَلا تَـكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ ءَاثِمٌ قَلْبُـهُ وَاللَّهُ بـِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ
Terjemahnya:“…dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
3. Alat bukti persangkaan: disebut juga (Ver Moeden) merupakan salah satu alat bukti dalam proses perdata dimuka pengadilan Negeri, dengan demikian persangkaan-persangkaan yang tidak didasarkan atas sesuatu ketentuan Undang-Undang yang tegas, persangkaan-persangkaan yang demikian tidak boleh mendapatkan perhatian hakim dalam mengadili sesuatu perkara, melainkan apabila persankaan-persangkaan itu penting, cermat, pasti dan saling bersangkutan.
kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang telah dianggap terbukti, yang menarik kesimpulan ini adalah hakim atau undang-undang. Satu persangkaan saja tidak cukup untuk membuktikan sesuatu, jadi harus banyak persangkaan-persangkaan yang satu sama lain saling berhubungan/saling menutupi. Oleh karena itu hakim harus berhati-hati dalam menarik kesimpulan tersebut.
4. Alat bukti pengakuan: Pengakuan atau iqrar yaitu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu. Ikrar adalah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri yang bersifat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Ikrar atau pengakuan dapat diberikan di muka hakim di persidangan atau di luar persidangan.
انى رسول الله صلم رجل من المسلمين وهو فى المسجد فناداه فقال يارسول الله اني زنيت فاعرض عنه فـتـنحى تلقاء وجهه فقال يارسول الله انى زنيت فاعرض عنه حتى شنى ذلك عليه اربع موات فلم شهد على نفسه اربع شهادات دعاه رسو ل الله صلم . فقال : ابك جنون ؟ قال : لا، فقال : فهل احصنت ؟ قال : نعم : فقال النبي صلم اذ هبوا به فار جموه .متفق عليه.
Artinya:”Sewaktu Rasulullah saw di dalam masjid, telah datang seorang laki-laki muslim. Ia berseru kepada Rasulullah ya Rasulullah, sesungguhnya saya telah berzina. Rasulullah berpaling dari padanya orang itu berputar menghadap kearah Rasulullah dan berkata. Ya Rasulullah, saya telah berzina, Rasulullah berpaling dari padanya hingga orang itu ulangi yang demikian itu sampai empat kali. Tatkala orang itu telah saksikan (kesalahan) dirinya empat persaksian (maksudnya empat kali mengaku), Rasulullah panggil ia dan Rasulullah bertanya. Apakah anda tidak gila? Orang itu menjawab, tidak. Tanya Rasulullah lagi, apakah anda sudah kawin? Orang itu menjawab, sudah, maka Rasulullah saw bersabda bawalah orang ini pergi dan rajamlah ia, Muttafaqun ‘Alaih”.
5. Alat bukti sumpah: Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat maha kuasa Tuhan (Allah)dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh Nya.

عن ابن عبّاس, أنّ النبى صلى الله عليه وسلّم قال, لويعطى النّاس بدعواهم, لادّعى ناس دماء رجال وأموالهم. ولكن اليمين على المدّعى عليه.
Artinya: “bersumber dari Ibn Abbas, bahwa Nabi saw, bersabda: andaikata manusia diberi menurut tuntutan mereka, tentu manusia akan banyak menuntut darah dan harta orang-orang. (karena itu penuntut harus mendatangkan saksi). Tetapi, sumpah diwajibkan atas terdakwa.
Dikuatkan lagi dengan Hadits:
عن ابن عبّاس, , أنّ رسول الله صلى الله عليه وسلّم قضى باليمين على المدّعى عليه.
Artinya: bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulallah saw telah menetapkan kewajiban sumpah atas terdakwa.

C. Kesimpulan
Setelah seorang hakim mengumpulkan data-data atau alat bukti selama penyidikan dan persidangan maka hakim bisa mengambil sebuah putusan atas pihak yang berperkara dan memberikan sanksi atas perbutan orang yang melanggar hukum tersebut.
Seberapa besar dan lamanya hukuman atas perbuatan orang yang melanggar hukum ditentukan oleh hakim berdasarkan ijtihadnya.
من اجتهد فأصاب فله أجران ومن اجتهد فاخطأ فله أجر واحد (رواه البخارى ومسلم).
Artinya: “barang siapa melakukan ijtihad dan benar, ia mendapatkan dua pahala. Dan jika ijtihadnya salah, ia mendapatkan satu pahala”.
Dengan demkian seorang hakim bisa mengambi sebuah keputusan atas ijtihadnya berdasarkan data dan bukti yang kuat dan akurat sebagai untuk menentukan putusan perkara bagi pihak-pihak yang melanggar hukum, wallahu a’lam.

Minggu, 22 Agustus 2010

Azas Hukum Acara Perdata

Asas Hukum Acara Perdata

A.Pengertian
Azas hukum acara perdata terdiri dari empat kata yang mempunyai arti yang berbeda, namun mempunyai dua kandungan makna, azas dan hukum acara perdata. Kedua makna kandungan ini saling terkait atau tidak bisa dipisahkan dengan proses beracara di depan pengadilan, khususnya proses pemeriksaan perkara oleh Hakim, Karena hakim atau Majlis Hakim yang menerapkan memeriksa, mengadili, memutus perkara diantara kedua belah yang bersengketa di depan sidang. Oleh karenanya, penulis sengaja memisah dua kandungan ini agar ditemukan makna yang jelas.
Kata lain untuk menyebut azas adalah dasar, Fondamen, pangkal tolak, landasan, dan sendi-sendi. kamus besar bahasa Indonesia azas diartikan suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Yahya Harahap dalam bukunya mengatakan azas adalah fondamentum suatu peradilan, ia merupakan acuan umum atau pedoman umum yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan pengadilan adil dan para pihak menjalankan dengan suka rela. Karena ia adalah azas umum sihingga dapat dikatakan juga sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan pasal-pasal, sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam azas umum itu sendiri.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain hukum acara perdata peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materil.
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara adalah rangkaian perturan-peraturan yang cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaiamana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan Prof. DR. Abdul Manan berpendapat bahwa, hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penguggat, bagaimana para hakim bertindak dan bagaimana hakim memutuskan perkara dan melaksanakan putusan .
Jadi, asas hukum acara perdata adalah pangkal tolak yang harus diterapkan oleh pengadilan, atau pendangan pengadilan atau Hakim dalam setiap menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara para pihak di Pengadilan.
B.Pengertian Azas Audio Et Alterampartem (Mendenganrkan Kedua Belah Pihak)
Audio berasal dari bahasa Belanda artinya mendengarkan, sedangkan Et Alterampartem artinya pihak-pihak yang berperkara atau kedua belah pihak yang bersengketa. azas ini menunjuk pada proses sidang di Pengadilan dimana majlis Hakim mendengarkan dua orang bersengketa dalam membela hak masing-masing. Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara artinya hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai pihak benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Makna yang dekat dengan azas mendengarkan kedua belah pihak adalah equality yang berarti persamaan hak, bila dikaitkan dengan fungsi peradilan berarti setiap orang yang datang di hadapan sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”, dengan kata lain sama hak dan kedudukannya di depan hukum.
Menurut Yahya Harahap ada tiga acuan dalam menerapakan persamaan hak dan kedudukan dalam perses peradilan, pertama; persmaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan, kedua; hak perlindungan yang sama oleh hukum, dan ketiga; mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.
Ketiga patokan ini adalah makna yang terkandung dalam pasal yang berbunyi “tidak membeda-bedakan orang” di muka pengadilan, yaitu hakim menempatkan para pihak yang berperkara dalam persamaan hak dan derajat dalam setiap tingkat pemeriksaan, memeberikan para pihak hak perlindungan hukum yang sama salama proses pemeriksaan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dan melayani mereka dengan hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses pemeriksaan.
Ketiga acuan persamaan hak ini, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan tidak bisa diterapkan secara parsial, menerapkan secara parsial pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang.
Dalam perkara perdana, kedudukan hukum adalah sebagai penengah di antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil yang kedua kali (dalam sidang pertama), sebelum ia memutus verstek atau digugurkan.
Bagi peradilan Islam, prinsip semua harus hadir itu, dapat dipahami dari Hadits Rasulullah Saw.
عَنْ عَلِيُّ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم اِذَاتَقَاضَ اِلَيْكَ رَجُلاَنِ فَلاَ تَقْضِ لِلاَوَّلِ حَتىَّ تَسْمَعَ كَلاَمَ اْلاَخَرِفَسَوْفَ تَدْرِيْ كَيْفَ تَقْضِيْر قَالَ عَلِي فَمَازَلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ
Terjemahnya: “Dari Ali Bin Abi Thalib, ia berkata Rasulullah SAW. telah bersabda: “Apabila 2 pihak meminta kepadamu keadilan maka janganlah engkau memutus hanya dengan mendengarkan keterangan dari satu pihak saja sehingga engkau mendengarkan keterangan dari pihak lainnya. Dengan demikian engkau akan mengetahui bagaimana seharusnya memutus. Ali berkata, tetaplah saya sebagai hakim sesudahku. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tarmidzy dan dihasankan dan dikuatkan oleh Ibn Al-Madany dan disahihkan oleh Ibn Hibban).
Karena pihak-pihak kemungkinan ada yang tidak hadir dan berbagai hal dan keadaannya selalu bahkan mungkin ada yang membangkang, maka demi kepastian hukum, cara-cara pemanggilan sidang diatur kongkrit sehingga terjadi penyimpangan dari prinsip, perkara tetap dapat diselesaikan.
Dalam berbagai kitab Fiqh Islam, memutus dengan verstek diperkenankan dan putusan verstek itu disebut al-Qada’u ‘ala al-Gaib. Kebolehan itu didasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW. Riwayat Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah RA. yang berbunyi :
عَنْ عَائِسَةَ قاَلَتْ دَخَلَتْ هِنْدِي بِنْت عُتْبــَةَ اِمْرَأَة اَبِي سُفْيَان عَلىَ رَسُوْل الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَتْ يَا رَسُوْل الله اِنَّ اَبَا سُفْيَان رَجُلٌ شَحِيْح لاَ يَعْطِيْنِي مِنَ التَّفَقَةِ مَايَكفيني وَيَكْفِي بَنِي اِلاَّ مَا اَخَذْ تَ مِن ْمَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلِي فِي ذَالِكَ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوْف مَايَكْفِيْكِ وَ يَكْفِيْ بَنِيْك.
Terjemahnya :Dari ‘Aisyah, Ia berkata: Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah SAW. lalu berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, Ia tidak memberi kepada saya nafkah yang mencukupi bagi diri saya dan anak saya, kecuali dari apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa yang demikian itu? Maka Sabda Rasulullah: Ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut.
Putusan Rasulullah kepada Hindun ini tanpa dihadiri oleh Abu Sufyan ketika itu di perantauan, karenanya dijadikan landasan bolehnya memutus tanpa dihadiri oleh tergugat tersebut (verstek).
C.Macam-macam Azas Hukum Acara Perdata
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak itu masing-masing itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa hak dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan seperti “siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki secara melawan hukum, siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”. Dalam bukunya Sudikno Martokusumo “pedoman atau kaidah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan setiap orang”.
Untuk menerapkan hukum acara dengan baik, maka perlu diketahui azas-azasnya. Azas-azas tersebut adalah :
1.Hakim bersifat menungggu
Azas ini mengandung arti yaitu, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Dasarnya adalah HIR pasal 118 dan R.Bg pasal 142. HIR pasal 118. Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya.
R.Bg pasal 142, Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang peradilan Negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan.
2.Hakim bersifat pasif
Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif, artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak. Hakim hanya diperbolehkan aktif dalam hal-hal tertntu, yaitu: Memimpin sidang, Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan, Hakim juga berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia yang memutus perkara yang disengketakan. Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;
a.pemeriksaan persidangan secara langsung
b.proses beracara secara lisan
c.Mendamaikan kedua belah pihak
Azas mendamaikan para pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral. Sekedar penegasan bahwa usaha mendamaikan sedapat mungkin diperankan Hakim secara aktif, sebab bagaimana pun adilnya suatu putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Apalagi dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan sehingga sifatnya imperatif artinya hakim harus berupaya secara optimal untuk bagaimana perceraian antara kedua belah pihak tidak terjadi.
Hakim aktif memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan. Banyak di antara para pencari keadilan yang tidak mampu dalam segala hal. Awam dalam hukum mengakibatkan ia harus bergulat sendiri di hadapan sidang, menghadapi para pencari keadilan semacam ini sangat memerlukan bantuan dan nasehat pengadilan. Mereka buta bagaimana cara yang tepat mempergunakan hak melakukan upaya banding atau kasasi dan tidak mampu merumuskan alasan-alasan memori banding dan memori kasasi. Disinilah peran hakim untuk memberi petunjuk dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan.

3.Ultra petita partium
Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg. Pasal 178 ayat 3 HIR “Ia (Hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan daripada yang digugat”. Pasal 189 ayat 3 R.Bg. “Hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberiklan lebih dari yang dimohon”.
4.Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar)
Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah:
a.Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah penguasaan umum.
b.Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan.
c.Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Azas ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179 ayat (1), 317 HIR dan pasal 190 R.Bg. Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan tertutup untuk umum dalam perkara perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, akan tetapi di dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah.
5.Mendengarkan kedua belah pihak
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.
6.Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut.
7.Berperkara dikenakan biaya
Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi;
a.Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b.Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
c.Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d.Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara
e.Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya.
Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.
Dasar hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”. demikian pula yang terdapat dalam pasal 273 R.Bg. “penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.
8.Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa
Artinya, setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa). Dasarnya adalah UU No. 14 Tahun 1970.
9.Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah:
a.Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
b.Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu.
c.Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan.
D.Proses Penuntutan Perkara Perdata di Pengadilan
Seperti telah kita ketahui hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Dalam hukum acara perdata diatur bagaimana cara pihak-pihak yang dirugikan mengajukan perkaranya ke pengadilan . Inisiatif perkara perdata datang dari pihak yang dirugikan, maksudnya apabila tidak ada gugatan/penuntutan dari pihak yang dirugikan maka perkara tersebut tidak dapat di proses lebih lanjut di pengadilan. Sedangkan proses penuntutan perkara perdata di pengadilan sebagai berikut:
1.Pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini masyarakat dengan didampingi konsultan yang kemudian disebut penggugat) mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.
2.Surat gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (Pengadilan Negeri dimana peristiwa sengketa perdata terjadi ). isi surat gugatan sebagai berikut:
a.Surat gugatan berisi: keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara ( identitas penggugat dan tergugat, seperti nama, alamat, umur, pekerjaan, dll).
b.Dasar gugatan, yang berisi uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menyebabkan kerugian pada salah satu pihak.
c.Tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat agar dikabulkan oleh Hakim.
3.Surat gugatan diserahkan kepada panitera pengadilan negeri. Panitera menghitung biaya perkara yang dibutuhkan. Pihak penggugat harus menalangi terlebih dahulu biaya yang dikeluarkan dalam proses pengadilan ke bagian keuangan.
4.Pemeriksaan perkara dilakukan oleh Majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada pihak panitera untuk melayangkan Surat Panggilan terhadap penggugat dan tergugat untuk mengadiri sidang pada waktu yang telah ditentukan.
5.Pihak penggugat dan tergugat menghadiri sidang pada waktu yang telah ditentukan bersama saksi-saksi dan alat bukti yang diperlukan. Dalam perkara perdata tidak ada Jaksa Penuntut Umum , karena yang berkepentingan dalam perkara ini adalah pihak-pihak secara pribadi. Apabila dalam sidang ada jaksa maka jaksa tersebut mewakili dan untuk membela kepentingan pemerintah/ Negara. Jadi jaksa berstatus sebagai salah satu pihak yang berperkara.
6.Sidang dibuka dan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis. Majelis memeriksa identitas penggugat dan tergugat, majelis membacakan gugatan kepada tergugat. Dalam sidang pertama hakim menawarkan upaya perdamaian, apabila perdamaian tidak tercapai pemeriksaan perkara dilanjutkan.
7.Majelis hakim memeriksa dan memperhatikan peristiwa/kejadian yang dikemukakan oleh para pihak. Para pihak wajib memberikan keterangan disertai dengan alat bukti yang ada.

Sabtu, 24 April 2010

kreteria untuk cewek


Carilah seorang pria yang memanggil mu cantik, bukan hot / sexy
Yang menelepon kembali ketika kamu menutup telpon
Yang mau tiduran di bawah bintang dan mendengar detak jantungmu
Atau mau tetap terbangun untuk melihatmu tidur
Tunggulah seorang laki-laki yang mencium dahimu
Yang mau memamerkan dirimu pada dunia ketika kamu sedang keringetan
Yang menggenggam tanganmu di depan teman-temannya
Yang menganggap kamu tetap cantik tanpa riasan
Seseorang yang selalu mengingatkan kamu, betapa besar kepeduliannya padamu
dan betapa beruntungnya dia memilikimu
Seseorang yang berkata pada temannya: dialah orangnya…

Jumat, 16 April 2010

wahai.....wanita

"Wahai, wanita-wanita yang hingga usia tiga puluh, empat puluh, atau lebih dari itu, tapi belum juga menikah (mungkin kerana kekurangan fizikal, tidak ada kesempatan, atau tidak pernah 'terpilih' di dunia yang amat keterlaluan mencintai harta dan penampilan wajah.) Yakinlah, wanita-wanita solehah yang sendiri, namun tetap mengisi hidupnya dengan indah, bersedekah, berbuat baik dan bersyukur atas karunia nikmat tuhan yang diberikan. Kelak di hari akhir sungguh akan menjadi bidadari-bidadari syurga. Dan khabar baik itu pastilah benar, bidadari syurga parasnya cantik luar biasa."

Selasa, 06 April 2010

proposalku

WARIS TERHADAP ANAK TIRI
(STUDI KOMPARATIF MADZHAB SYAFI’I DAN HUKUM WARIS DI INDONESIA).

A. Konteks Kajian
Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat yang terkecil, yang terdiri dari seorang ayah, ibu dan anak.
Anak adalah bagian dari segala tumpuhan dan harapan kedua orang tua (ayah dan ibu) sebagai penerus hidup. Mempunyai anak merupakan tujuan dari adanya perkawinan untuk menyambung keturunan serta kelestarian harta kekayaan. Mempunyai anak adalah kebanggaan dalam keluarga. Dalam diri manusia pasti mengalami peristiwa kelahiran dan akan mengalami kematian. Peristiwa kelahiran seseorang tentunya menimbulkan akibat-akibat hukum serta hak dan kewajiban. Peristiwa kematian juga akan menimbulkan akibat hukum terhadap orang lain terutama kepada pihak keluarga dan pihak tertentu.
Namun, demikian tujuan perkawinan tersebut terkadang tidak dapat tercapai sesuai dengan apa yang di harapan. Beberapa pasangan hidup, tidaklah sedikit dari mereka mengalami permasalahan dalam mengarungi bahtera rumah tangga sehingga ada yang sampai ke titik perceraian. Sedangkan putusnya perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam tentang putusnya perkawinan bahwa; “Perkawinan dapat putus karena a. Kematian b. Perceraian dan c. Atas putusan Pengadilan”.
Terjadinya perceraian maka tidak lepas dengan harta gonogini atau yang disebut harta bersama sepertihalnya yang dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam; “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama” dan dijelaskan dalam pasal lain “Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.
Separoh harta bersama dari suami istri menjadi milik pasangan waktu hidupnya dan yang separohnya lagi menjadi harta simayit (harta pewaris). Dalam penjelasan Kompilasi Hukum Islam bahwa;
“Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”.

Pada ayat selanjutnya di jelaskan
“Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.

Setelah perceraain terjadi banyak dari mereka melaksanakan perkawinan lagi, dalam perkawinan yang kedua banyak pula yang mempunyai (membawa) anak dari pasangan barunya yang di sebut anak tiri. Setelah menempuh bahtera rumah tangga yang kedua adakalanya mempunyai anak bahkan ada yang tidak mempunyai anak, setelah perjalanan nikah yang kedua dari salah satu pasangan tersebut meninggal dunia dengan meninggalkan pasangan dan anaknya pasangan tersebut (anak tiri), dalam al-Quran dijelaskan tentang waris;
وَأُوْلُوالأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَولَى بِبَعْضٍ فِى كِتَبِ اللهِ مِنَ المُؤْمِنِيْنَ وَالمُهَاجِرِيْنَ اِلاَّ أَنْ تَفْعَلُوا اِلَى أَوْلِيَائِكُمْ مَعْرُوْفًا. (الأحزاب:6).
Terjemahan: Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik. (Q.S. al-Ahzab, 33:6).

Dijelaskan pula mengenai bukan hubungan darah dalam al-Qur’an;

وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللهُ يَقُوْلُوْ الحَقَّ وَهُوَ يَهدِى السَّبِيْلَ. أُدْعُوْهُمْ لِأَبَائِهِمْ هُوَ أَقسَطُ عِنْدَ اللهِ فَِانْ لَمْ تَعْلَمُوْا أَبَاءَهُمْ فَاِخْوَانَكُمْ فِى الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ. (الأحزاب:4-5).

Terjemahan: Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian tersebut hanyalah perkataan di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan yang benar
Panggilah mereka (anak-anak angkat tersebut) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Tersebutlah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui nama bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. (Q.S. al-Ahzab, 33:4-5).

Penjelasan mengenai waris dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (burgerlijk Wetboek) tentang perwarisan karena kematian di jelaskan dalam pasal
832 yang berhak menjadi ahli waris ialah “para keluarga sedarah baik sah, maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama”.
Bahwasannya dari semua hukum yang ada tersebut pasti mempunyai syarat-syarat atau ketentuan agar hukum tersebut dapat berjalan. Adapun dalam kewarisan tersebut dapat dilakukan apabila memenuhi beberapa syarat, kepastian meninggalnya orang yang mempunyai harta ( pewaris ), kepastian hidupnya ahli waris ketika pewaris tersebut meninggal dunia (jadi pada saat pewaris tersebut meninggal ahli warisnya tersebut masih ada dalam arti masih hidup), diketahui sebab status masing-masing ahli waris ( keluarga ataupun karena sebab lain ).
Pembagian waris setidaknya Ada dua jalur untuk mendapatkan warisan secara adil, tersebut melalui pewarisan absentantio dan pewarisan testamentair. Pewarisan absentantio merupakan warisan yang didapatkan berdasarkan Undang-undang. Dalam hal ini sanak keluarga pewaris (almarhum yang meninggalkan warisan) adalah pihak yang berhak menerima warisan.
Sedangkan pewarisan secara testamentair/wasiat merupakan penunjukan ahli waris berdasarkan surat wasiat. Dalam jalur ini, pemberi waris akan membuat surat yang berisi pernyataan tentang apa yang akan dikehendakinya setelah pemberi waris meninggal nanti. Ini semua termasuk persentase berapa harta yang akan diterima oleh setiap ahli waris.
Dalam penjelasan diatas bahwasannya harta warisan diberiakan kepada ahli waris yaitu anak kandung, kerabat dan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan, penjelasan mengenai waris terhadap anak tiri tidak dijelaskan. Sedangkan apabila anak tiri tersebut selama pewaris hidup berbakti dan berkelakuan baik, apakah bisa mendapatkan harta warisan, dan kedudukan anak tiri tersebut bagaimana.
Alasan penulis memilih judul “WARIS TERHADAP ANAK TIRI (STUDI KOMPARATIF MADZHAB SYAFI’I DAN HUKUM WARIS DI INDONESIA)” karena belum ada yang membahas atau mengkajinya tentang waris anak tiri. Memilih madzhab Syafi’i karena agama islam terdiri dari beberapa madzhab sehingga penulis condong kepada salah satu madzhab yang akan dikaji yaitu madzhab Syafi’i, sedangkan Indonesia adalah Negra penulis berdomisili di Negara tersebut.

B. Fokus Kajian
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat Penyusun sampaikan satu hal yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yatersebut:

1. Bagaimana kedudukan anak tiri dalam waris menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia.
2. Bagaimana perbandingan pembagian waris anak tiri menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia.

C. Tujuan Kajian
Merujuk pada fokus kajian diatas diharapkan penelitian ini untuk mengetahui;
a. kedudukan anak tiri dalam waris.
b. pembagian warisan anak tiri menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia.

D. Kegunaan Kajian
Penulisan skripsi ini semoga bermanfa’at bagi pembaca sebagai acuan untuk menggali intelektual, diantarany;
1. Sebagai bahan informasi atau pengetahuan tentang waris terhadap anak tiri baik dalam pandangan madzhab Syafi’i dan hukum Waris di Indonesia.
2. Sebagai bahan referensi bagi siapa saja yang ingin mempelajari lebih dalam permasalahan yang berkaitan dengan anak tiri seperti tersebut di atas.

E. Penegasan Istilah
Waris terhadap anak tiri Merupakan harta tinggalan dari orang tua tiri yang meninggal dunia baik berupa harta bawaan dan bagian harta bersama yang terdiri dari benda bergerak maupun tidak, setelah digunakan untuk untuk keperluan pewaris selama sakit dan sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah dan pembayaran hutang. Sedangkan anak tiri bukanlah anak kandung (darah daging) atau disebut juga anak kualon dari salah satu orang tua tiri baik dari ayah atau ibu. Studi komparatif madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia merupakan pelajaran atau telaah yang membandingkan antara data yang satu dengan yang lainnya untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya, dari madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia di bandingkan sehingga akan sampai pada suatu kesimpulan. Dari madzhab syafi’i ini golongan atau aliran faham fiqh yang mengikuti imam Syafi’i. sedangkan hukum Indonesia berupa hukum formal baik peninggalan Belanda maupun perubahan/revisi oleh anggota dewan.

G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Sedang untuk mendapatkan data atau informasi tentang anak tiri terhadap harta warisan ini, maka kemudian diadakan Library Research, sehingga penelitian inipun dinamakan penelitian pustaka. Yatersebut penelitian dengan meneliti data yang ada di perpustakaan yang berkenaan dengan pembahasan waris anak tiri, data tersebut diambil dari literatur yang ada.
Jenis penelitian ini adalah penelitian komparatif. Dengan jenis penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan kaidah atau norma hukum yang ada mengenai anak tiri terhadap harta warisan dalam perbandingan madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia.
2. Sumber Data
a. primer
sumber yang menjadi pokok penggalian data dalam penelitian ini adalah berasal dari:
1. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Sekunder
Untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang penelitian ini, maka penulis juga mengambil dari beberapa sumber sekunder sebagai pelengkap data dari sumber primer, diantaranya adalah diambil dari kamus, jurnal, situs internet dan beberapa buku yang menunjang akan terkumpulnya data-data penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian library research, maka dalam pengumpulan datanya menggunakan metode dokumentasi. Dengan metode ini, Penyusun akan menelaah berbagai literatur atau buku-buku yang isinya membahas tentang waris terhadap anak tiri pandangan madzhab Syafi’i dan Hukum waris di Indonesia.

4. Teknik Analisis Data
Untuk memahami peraturan hukum terhadap harta warisan anak tiri dalam madzhab Syafi’i dan Hukum waris di Indonesia, Penyusun menggunakan metode diskriptip, deduktif dan komparatif, yatersebut pengumpulan data yang kemudian diklasifikasikan dari berbagai literatur yang bersifat umum, untuk kemudian dianalisis dan diidentifikasi sehingga mendapatkan data yang lebih bersifat khusus. Selanjutnya data-data tersebut dianalisis dengan data lain yang terkait dan diformulasikan data-data tersebut untuk diperiksa kembali validitas data menjadi suatu kesimpulan, kemudian membandingkan antara data yang satu dengan yang lain tersebut untuk mengetahui persamaan dan perbedaannya, sehingga akan sampai pada suatu kesimpulan.
Dengan analisa pendekatan ini, diharapkan Penyusun akan menemukan beberapa tujuan pemberian harta waris terhadap anak tiri, kedudukan anak tiri pandangan madzhab Syafi’i dan Hukum waris di Indonesia. Sehingga ditemukan pemberian harta terhadap anak tiri tersebut.

H. Sistematika Penulisan
Melalui metode penelitian tersebut di atas, maka untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, kiranya perlu disusun secara sistematik dengan membaginya dalam beberapa bab sebagai berikut:
Bab I. Merupakan pendahuluan yang digunakan sebagai rambu-rambu atauframe bagi pembahasan selanjutnya. Adapun isinya meliputi; konteks Kajian, Fokus Kajian, Tujuan kajian, Kegunaan Kajian, Penegasan Istilah, Metodologi Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab II. Dalam bab II, penelitian ini diuraikan secara berurut membahas tentang; pengertian waris, sejarah waris, macam-macam waris, ahli waris dan pembagiannya serta penghalang waris dan cara menentukannya.

Bab III. Bab ini merupakan kelanjutan dari pembahasan sebelumnya yang kali ini membicarakan tentang Hukum kewarisan di Indonesia, Kedudukan anak tiri terhadap harta warisan menurut madzhab Syafi’i dan Kedudukan anak tiri terhadap harta warisan dalam hukum waris di Indonesia.

Bab IV. menganalisis tentang kedudukan anak tiri dalam waris perbandingan menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia, pembagian warisan anak tiri menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia. Dari analisis tersebut di dapat disimpulkan bagaimana kedudukan dan pembagian waris terhadap anak tiri perbandingan menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia.

Bab V. Adalah bab penutup dari pembahasan dalam penelitian ini yang merupakan kesimpulan dari analisis permasalahan waris terhadap anak tiri perbandingan menurut madzhab Syafi’i dan hukum waris di Indonesia dan beberapa saran.









DAFTAR PUSTAKA
Abimannyu, Gornat, kamus populer, Yogyakarta: Harapan Utama, 2005.
Ali, Muhammad Nur, Kamus Agama Islam, Cirebon: Annizam, 2004.
Cyntia P. Dewantoro,” Bagaimana Membagi Waris Menurut KUH Perdata”, kompas on line, (http://bisniskeuangan.kompas.com, 28 Mei 2008, diakses tanggal 10 maret 2010).
Deparemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahan, Bandung: J-ART, 2005.
Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokus Media, 2005.
Mukhlis, Ahmad, “Asas-asas waris dalam hukum perdata islam”, tugas mata kulia hukum perdata islam, (IAIT KEDIRI) 2008.
Subekti, R & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang HUKUM PERDATA, Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004.
Surayin, Kamus umum bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya, 2007.
Usman, Suparman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris, Jakarta: Gaya Media pratama, 2002.

Sabtu, 27 Maret 2010

hukum perdata islam




PENDAHULUAN

Pertama-tama saya panjatkan puja dan puji syukur terhadap allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ma’unah sehingga makalah ini bias diselesaikan walau dengan keterbatasan saya dalam mencari referensi dan kemampuan mentelaah tentang hukum perdata islam di Indonesia.
Sholawat serta salam kami sanjungkan kepada sang insane al-Kamil ialah Muhammad SAW yang telah membawa syari’at islam kemuka bumi sehingga terdapat sesuatu ketentuan hukum untuk melaksanakan kewajiban dan bagi yang melanggar akan mendapatkan sanksi baik di dunia maupun akhirat nanti, dan kita harapkan syafa’atnya kelak nanti amin.
Ajaran Islam, sebagaimana dalam beberapa ajaran agama lainnya, mengandung aspek-aspek hukum, yang kesemuaannya dapat dikembalikan kepada sumber ajaran Islam itu sendiri, yakni Al-Quran dan Al-Hadits. Dalam menjalankan kehidupan sehari-hari, baik sebagai pribadi, anggota keluarga dan anggota masyarakat, dimana saja dunia ini, umat islam menyadari ada aspek-aspek hukum yang mengatur kehidupannya, yang perlu mereka taati dan mereka jalankan. Tentu saja seberapa besar kesadaran itu, akan sangat tergantung pada kompisi besar kecilnya komunitas umat islam, seberapa jauh ajaran Islam diyakini dan diterima oleh individu dan masyarakat, dan sejauh mana pula pengaruh dari perantara social dan politik dalam memperhatikan pelaksanaan ajaran-ajaran Islam dan hukum-hukumnya dalam kehidupan masyarakat itu.
Untuk mempermudah dan menyimak kami jelaskan dalam beberapa item sebagaimana berikut :

 Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia
 Latar belakang
 Kemajuan dan kekuatan




Pengertian Hukum Perdata Islam di Indonesia

Hukum Islam merupakan terminology khas Indonesia, jikalau kita terjemahkan langsung kedalam bahasa Arab maka akan di terjemahkan menjadi al-hukm al-Islam, suatu terminology yang tidak dikenal dalam Al-Quran dan Al-Hadits. Maka padana yang tepat dari istilah “Hukum Islam” adalah al-fiqh al-Islamy atau al-Syari’ah al-Islamy, sedangkan dalam wacana ahli hukum Barat di gunakan istilah Islamic law.
Sedangkan terminologi “Hukum Perdata Islam” yang menjadi telaah utama makalah ini dapat kami uraikan berdasarkan pengertian dari kata-kata penyusun sebagai berikut;
Hukum, adalah seperangkat peraturan-peraturan yang dibuat oleh yang berwenang (Negara), dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat, yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa, serta mengikat anggotanya, dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.
Sedangkan Hukum Perdata, adalah hukum yang bertujuan menjamin adanya kepastian didalam hubungan antara orang yang satu dengan orang yang lain kedua-duanya sebagai anggota masyarakat dan benda dalam masyarakat. Dalam terminologi Islam istilah perdata ini sepadan dengan pengertian mua’amalah.
Kemudian frase Hukum Perdata disandarkan kepada kata Islam, Jadi dapat dipahami menurut hemat penulis bahwa ”Hukum Perdata Islam” adalah peraturan yang dirumuskan berdasarkan wahyu Allah dan sunnah Rosul tentang tingkah laku mukallaf dalam hal perdata/mu’amalah yang diakui dan diyakini berlaku mengikat bagi semua pemeluk Islam (diIndonesia).
Menurut Muhammad Daud Ali , ”Hukum Perdata Islam” adalah sebagian dari hukum Islam yang telah berlaku secara yuridis formal atau menjadi hukum positif dalam tata hukum Indonesia, yang isinya hanya sebagian dari lingkup mu’amalah, bagian hukum Islam ini menjadi hukum positif berdasarkan atau karena ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan. Contohnya adalah hukum perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, zakat dan perwakafan.
Sejarah Perkembangan hukum islam di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sejarah islam itu sendiri. Membicarakan hukum Islam sama artinya dengan membicarakan Islam sebagai sebuah agama.begitu juga tidak mungkin mempelajari Islam tanpa mempelajari hukum Islam. Ini menunjukan bahwa hukum sebuah institusi agama memiliki kedudukan yang sanga signifikan.
Beberapa ahli menyaakan bahwa hukumIslam yang berkembang di Indonesia bercorak Syafi”iyyahini ditunjukkan dengan bukti-bukti sejarah dintaranya, sultan Malikul Zahir dari samudra pasai adalah seorang ahli agama terkenal pada pertengahan abad XIV M.
Nuruddin ar-Raniri yang menulis buku hukum Islam yang di beri nama Sirat al-Mustaqim pada tahun 1628 dap[at di sebut sebaga tokoh Islam abad XVII. Kitab Sirat al-Mustaqim merupakan kitab atau buku hukumIslam pertama yang disebarkan keseluruh Nusantara. Ada juga yang seangkatan al-Raniri adalah Abd al-Rauf as-Sinkili, beliau termasuk mujtahid Nusantara yang menulis karya fikih yang baik berjudul Mir’at al-Tullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab. Pada abad XVIII M. Terdapat tokoh Islam yang lainnya dalam bidang hukum Islam adalah Syekh Arsyad al-Banjari yang menulis kitab yang diberi nama Sabil al-Muhtaddin li Tafaqquh fi Amr al-Din yang bercorak Syafi;iyyah. Adajuga Syekh Nawawi al-Bantani dan masih banyak yang lainnya.
Pada masa kerajaan Islam dan tokoh-tokoh di Nusantara hukum Islam di peraktekkan oleh masyarakat mencakup masalah mu’amalah, ahwal al-Syakhsiyah (perkawinan, perceraian dan waris), dan peradilan sehingga hukum Islam menjadi sistem hukummandiri yang di gunakan di kerajaan Islam di Nusantara dan menjadi hukum yang positif.
Perkrmbangan hukum Islam di Indonesia masa penjajah belanda dapat di lihat kedalam dua bentuk;
Pertama, adanya toleransi pihak belanda melalui VOC (Vereenigde Ootsindische Compaignie) yang memberikan ruang agak luas bagi perkembangan hukum Islam.
Kedua, adanya upaya intervensi Belanda terhadap hukum Islam dengan menghadapkanya pada hukum adat.
Pada masa kedua ini Belanda ingin menerapkanya politik hukum Belanda ke Indonesia dengan menggunakan tahap-tahap kebijakan strateginya sebagai berikut;

a. Receptie in Complexu (Salomon Keyzer & Christian Van Den Berg [1845-1927]), teori ini menyatakan hukum menyangkut agama seseorang. Jika orang itu memeluk Islam maka hukum Islamlah yang berlaku baginya, namum hukum Islam yang berlaku tetaplah hanya dalam masalah hukum keluarga, perkawinan dan warisan.
b. Teori Receptie ( Snouck Hurgronje [1857-1936] disistemisasi oleh C. Van Vollenhoven dan Ter Harr Bzn), teori ini menyatakan bahwa hukum Islam baru diterima memiliki kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat, implikasi dari teori ini mengakibatkan perkembangan dan pertumbuhan hukum Islam menjadi lambat dibandingkan institusi lainnya . di nusantara.

Hukum Islam pada masa jepang, Menurut Daniel S. Lev Jepang memilih untuk tidak mengubah atau mempertahankan beberapa peraturan yang ada. Adat istiadat lokal dan praktik keagamaan tidak dicampuri oleh Jepang untuk mencegah resistensi, perlawanan dan oposisi yang tidak diinginkan.
Jepang hanya berusaha menghapus simbol-simbol pemerintahan Belanda di Indonesia, dan pengaruh kebijakan pemerintahan Jepang terhadap perkembangan hukum di indonesia tidak begiti signifikan.
Hukum Islam pada masa kemerdekaan, salah satu makna kemerdekaan bagi bangsa Indonesia adalah terbebasnya dari pengaruh hukum Belanda. menurut Prof. Hazairin , setelah kemerdekaan, walaupun aturan peralihan UUD 1945 menyatakan bahwa hukum yang lama masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UUD 1945, seluruh peraturan pemerintahan Belanda yang berdasar teori receptie (Hazairin menyebutnya sebagai teori iblis) tidak berlaku lagi karena jiwanya bertentangan dengan UUD 1945.
Teori receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah Rosul. Disamping Hazairin, Sayuti Thalib juga mencetuskan teori Receptie a Contrario, yang menyatakan bahwa hukum adat baru berlaku kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Sedangkan hukum Islam pada masa pemerintahan orde baru ada harapan bagi dinamika perkembangan hukum Islam, harapan ini timbul setidaknya karena kontribusi yang cukup besar yang diberikan umat Islam dalam menumbangkan rezim orde lama, namun pada realitasnya keinginan ini menurun DR.Amir Nuruddin bertabrakan dengan setrategi pembangunan orde baru yaitu menabukan pembicaraan masalah-masalah idielogis selain pancasila dan marginalisasi peranan partai politik.
Era orde baru ini banyak produk hukum Islam (tepatnya hukum perdata Islam) yang menjadi hukum positif yang berlaku secara yuridis formal. Diantaranya ialah;

 UU no. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
 UU no. 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama.
 Kompilasi Hukum Islam.

Hukum Islam pada masa Reformasi iklim demokrasi di Indonesia membaik dimana tidak ada lagi kekuasaan repsesif seperti era orde baru, dan bertambah luasnya aspirasi plitik umat Islam pada pemilu 1999. dengan bermunculnya partai-partai umat Islam dan tokoh-tokoh politik Islam dalam kancah politik Nasional sehingga keterwakilam suara umat Islam bertambah dilembaga legeslatif maupun ekskutif.
Diantara produk hukum yang positif era reformasi yang sangat jelas bermuatan hukum Islam (Hukum Perdata Islam) ini antara lain adalah;

 UU no.38 Tahun 1999 tentang pengelola Zakat
 UU no. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf
 RUU perbankkab Syari’ah.
Kekuatan dan Kemajuan

Hukum Islam di Indonesia mengalami perkembangan yang dinamis dan berkesinambungan baik itu melalui seluler infrastruktur politik maupun
suprastruktur seiringan realitas, tuntutan dan dukungan secara kehendak bagi upaya transformasi hukum Islam kedalam sistem hukum Nasional.
Hukum Islam di Indonesia, sesungguhnya adalah hukum yang hidup, berkembang, dikenal dan sebagiannya ditaati oleh umat Islam di negara ini. Bagaimanakah keberlakuan hukum Islam itu?Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang perubadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan solat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa solat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.
Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.
Bukti sejarah produk islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat di gugat kebenarannya. Bukti lain adalah;

 Inpres no.01 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
 UU no.14 Tahun 1970 Pengadilan Agama.
 UU no.41 Tahun 2004 tentang wakaf


Kesimpulan

Hukum Islam ada sejak adanya orang Islam di Indonesia, bukti adanya orang Islamdi Indonesia dulu adalah batu prasaste yang bertulisan Arab di daerah Aceh, sejak itu pula hukum Islam sudah berlaku atau diterapkan dengan adanya pertanyaan orang awam (tidak mengerti hukum) bertanya kepada tokoh-tokoh agama dan secara tidak langsung tokoh tersebut menjadi hakim. Seperti contoh menanyakan pembagian waris.
Berkembangpula hukum Islam mulai dari zaman era kerajaan dengan adanya tokoh-tokoh agama dan karangan kitabnya mengenai tentang hukum seperti Syekh Sultan Malikul Zahir, Nuruddin al-Raniri dengan karangannya Sirat al-Mustaqim, Abdul al-Rauf as-Sinkili merupakan mujtahid Nusantara dengan karya Fiqhnya Mir’at al-Tullab fi Tasyi al-Ma’rifah al-Ahkam al-Syar’iyyah li al-Malik al-Wahhab.dan masih banyak tokoh-tokoh yang lainnya.
Pada era penjajahan, orde baru dan reformasi adanya hukum Islam tetap eksis, Bukti sejarah produk islam sejak masa penjajahan hingga masa kemerdekaan dan masa reformasi merupakan fakta yang tidak pernah dapat di gugat kebenarannya. Bukti lain adalah;

 Inpres no.01 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
 UU no.14 Tahun 1970 Pengadilan Agama.
 UU no.41 Tahun 2004 tentang wakaf.


Daftar Pustaka
 Nuruddin, Amir dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Kencana Perdana Media Group,2004.
 Kompilasi Hukun Islam.2000.
 Htp//id.wikipedia.org/wiki/hukum islam
 Htp//yogiikhwan.blogspot.com/2007/08/hukum perdata islam

Selasa, 09 Maret 2010

BIOGRAFI IMAM NAWAWI

BIOGRAFI IMAM NAWAWI
Namanya adalah Al Imam Al Hafidz Syaikh Al Islam Muhyiddin Abu Zakaria bin Muri bin Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jama'ah bin Hisyam bin Al Nawami.
Annawawi adalah sebuah nisbat kota yang bernama nawa yang terletak di daerah Hauron di Suriah kemudian beralih ke Damascus salah satu kota di Syam, yang merupakan kota kelahirannya.
Imam nawawi lahir di kota nawa pada bulan muharom tahun 630 H. imam nawawi sejak kecil tampak pancaran sinar, dalam diri pribadinya terdapat nur ilahi yang akan membentuknya menjadi seorang yang di butuhkan oleh banyak orang.
Saat biliau masih kecil seperti layaknya anak kecil suka bermain, beliau ingin sekali bermain dengan teman sebayanya, namun mereka tidak mau menerima kehadiran bermain sebagai teman mereka. Lalu Imam Nawawi menangis dan mengadu kepada orang tuanya atas sikap teman-temannya. Akan tetapi orang tuanya menasehati agar menghabiskan waktunya untuk menimba ilmu.
GURU-GURU IMAM NAWAWI
Dalam mencari ilmu imam Nawawi berguru kepada Syaikh Ar-Ridlo bin Al-Burhan, Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad Al-Anshori, Zainuddin bin Abdul Da'im, Imaduddin Abdul Karim Al-Khurasani, Zainuddin Khalaf bin Yusuf, Taqiyuddin bin Abi Yasar, Jamaluddin bin Al-Syarofi, Syamsuddin bin Umar dll.

KITAB-KITAB KARANGAN IMAM NAWAWI
Diantara kitab-kitab karangan beliau adalah sebagai berikut;
Syarah Shoheh Muslim, Riyadussolihin, Al-Adzkar, Al-Arba'in, Al-Irsyad fi ulumul hadits, Syarah Al-Muhadzab ila bab Al-Miroh (4 jilid), dan masih banyak yang lainnya kitab dalam bidang hukum, bahasa, adab, dan ilmu-ilmu fiqh. Karangan kitab beliau kurang lebih 45 buah sama dengan umurnya.

WAFATNYA IMAM NAWAWI
Setelah melakukan perjalanan ke baitul maqdis dan kembali ke kota kelahirannya (nawa) imam Nawawi sakit disamping orang tuanya, lalu meninggal dunia pada tanggal 24 rojab tahun 676 H. dan di kubur di kota yazar.


ISTINBATHUL HUKM IMAM NAWAWI
Imam Nawai merupakan imam yang beraliran madzhab syafi'I dan beliau tentang pengambilan hukumnya tidak lepas dari madzhab yang di anutnya sendiri (syafi'i) yang dasar istinbath dalam menetapkan hukum islam adalah Al-Quran, Al-Sunnah, Qiyas dan Ijma' yaitu sebagai berikut;

1. Al-Quran dan Al-Sunnah
Al-Quran dan Al-Sunnah dianggap berada dalam tingkatan yang sama sebab;
a. Fungsunya sebagai penjelas Al-Quran, kecuali Hadits Ahad.
b. Al-Quran dan Al-Sunnah sama-sama sebagai wahyu, sekalipun secara terpisah kekuatannya tidak sekuat Al-Quran.
2. Qiyas
Pada hakikatnya imam syafi'I adalah seorang mujtahid pertama yang membicarakan Qiyas dengan menjelaskan asas-asasnya dalam bentuk rumusan-rumusan baku sebagai pilar (pedoman) kaidahnya.
3. Ijma'
Ijma' dalam pandangan madzhab syafi'I adalah merupakan kesepakatan para ulama pada suatu masa di seluruh penjuru dunia islam, bukan ijma' suatu negara tertentu saja. Dan bukan pula ijma' kelompok tertentu, sedangkan keberadaan ijma' sahabat menurut madzhab syafi'I merupakan suatu ijma' yang paling kuat dan harus diterima sebagai hujjah.

MUJTAHID MUROJEH
Dari kalangan madzhab Syafi'i yang termasuk sebagai mujtaid murojeh adalah imam Nawawi. Mujtahid murojeh lazimnya di sebut "faqih Al-Nafsi" atau mujtahid independen.
Yaitu; seorang mujtahid yang tidak pernah melakukan ijtihad sendiri dalam memecahkan masalah-masalah baru, tetapi ia hanya menekuni studi perbandingan (muqoronah) antara beberapa pendapat yang berbeda dikalangan para ulama, baik dalam satu madzhab maupun dalam beberapa madzhab. Hal ini dilakukan dengan cara menilai mana yang lebih kuat (اقوى) dan lebuh benar(ارجح) dalilnya. Maka dari itu ia selalu terikat oleh sistem-sistem yang telah ditetapkan oleh imamnya dan ia juga selalu mengikuti imamnya dalam masalah furu'iyyah, hanya saja jika ada masalah yang masih diperselisihkan dikalangan madzhabnya, ia mampu melakukan suatu penetapan hukum mana yang nilainya lebih utama (ارجح) dan lebih kuat (اقوى) daripada penetapan-penetapan hukum yang lain.
Sebagaian ulama mengatakan bahwa antara kelompok mujtahid fil madzhabdengan mujtahid murojih sedikit sekali perbedaannya sehingga sangat sulit untuk di bedakan. Oleh karena itu mereka menjadikan nya suatu tingkatan.