Minggu, 22 Agustus 2010

Azas Hukum Acara Perdata

Asas Hukum Acara Perdata

A.Pengertian
Azas hukum acara perdata terdiri dari empat kata yang mempunyai arti yang berbeda, namun mempunyai dua kandungan makna, azas dan hukum acara perdata. Kedua makna kandungan ini saling terkait atau tidak bisa dipisahkan dengan proses beracara di depan pengadilan, khususnya proses pemeriksaan perkara oleh Hakim, Karena hakim atau Majlis Hakim yang menerapkan memeriksa, mengadili, memutus perkara diantara kedua belah yang bersengketa di depan sidang. Oleh karenanya, penulis sengaja memisah dua kandungan ini agar ditemukan makna yang jelas.
Kata lain untuk menyebut azas adalah dasar, Fondamen, pangkal tolak, landasan, dan sendi-sendi. kamus besar bahasa Indonesia azas diartikan suatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Yahya Harahap dalam bukunya mengatakan azas adalah fondamentum suatu peradilan, ia merupakan acuan umum atau pedoman umum yang harus diterapkan oleh pengadilan dalam menyelesaikan perkara, sehingga putusan pengadilan adil dan para pihak menjalankan dengan suka rela. Karena ia adalah azas umum sihingga dapat dikatakan juga sebagai karakter yang melekat pada keseluruhan pasal-pasal, sehingga pendekatan penafsiran, penerapan dan pelaksanaannya tidak boleh menyimpang dan bertentangan dengan jiwa dan semangat yang tersurat dan tersirat dalam azas umum itu sendiri.
Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim. Dengan kata lain hukum acara perdata peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materil.
Prof. Dr. Wirjono Projodikoro, mengemukakan bahwa hukum acara adalah rangkaian perturan-peraturan yang cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaiamana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.
Sedangkan Prof. DR. Abdul Manan berpendapat bahwa, hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat mempertahankan diri dari gugatan penguggat, bagaimana para hakim bertindak dan bagaimana hakim memutuskan perkara dan melaksanakan putusan .
Jadi, asas hukum acara perdata adalah pangkal tolak yang harus diterapkan oleh pengadilan, atau pendangan pengadilan atau Hakim dalam setiap menerima, memeriksa, mengadili dan memutus perkara para pihak di Pengadilan.
B.Pengertian Azas Audio Et Alterampartem (Mendenganrkan Kedua Belah Pihak)
Audio berasal dari bahasa Belanda artinya mendengarkan, sedangkan Et Alterampartem artinya pihak-pihak yang berperkara atau kedua belah pihak yang bersengketa. azas ini menunjuk pada proses sidang di Pengadilan dimana majlis Hakim mendengarkan dua orang bersengketa dalam membela hak masing-masing. Dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara artinya hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai pihak benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak.
Makna yang dekat dengan azas mendengarkan kedua belah pihak adalah equality yang berarti persamaan hak, bila dikaitkan dengan fungsi peradilan berarti setiap orang yang datang di hadapan sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”, dengan kata lain sama hak dan kedudukannya di depan hukum.
Menurut Yahya Harahap ada tiga acuan dalam menerapakan persamaan hak dan kedudukan dalam perses peradilan, pertama; persmaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan, kedua; hak perlindungan yang sama oleh hukum, dan ketiga; mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum.
Ketiga patokan ini adalah makna yang terkandung dalam pasal yang berbunyi “tidak membeda-bedakan orang” di muka pengadilan, yaitu hakim menempatkan para pihak yang berperkara dalam persamaan hak dan derajat dalam setiap tingkat pemeriksaan, memeberikan para pihak hak perlindungan hukum yang sama salama proses pemeriksaan sesuai ketentuan hukum yang berlaku, dan melayani mereka dengan hak perlakuan yang sama menurut hukum sejak mulai sampai akhir proses pemeriksaan.
Ketiga acuan persamaan hak ini, merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dan tidak bisa diterapkan secara parsial, menerapkan secara parsial pasti akan mewujudkan penerapan hak persamaan yang pincang.
Dalam perkara perdana, kedudukan hukum adalah sebagai penengah di antara pihak yang berperkara, ia perlu memeriksa (mendengarkan) dengan teliti terhadap pihak-pihak yang berselisih itu. Itulah sebabnya pihak-pihak pada prinsipnya harus semua hadir di muka sidang. Berdasarkan prinsip ini maka di dalam HIR misalnya, diperkenankan memanggil yang kedua kali (dalam sidang pertama), sebelum ia memutus verstek atau digugurkan.
Bagi peradilan Islam, prinsip semua harus hadir itu, dapat dipahami dari Hadits Rasulullah Saw.
عَنْ عَلِيُّ قَالَ رَسُوْلُ الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم اِذَاتَقَاضَ اِلَيْكَ رَجُلاَنِ فَلاَ تَقْضِ لِلاَوَّلِ حَتىَّ تَسْمَعَ كَلاَمَ اْلاَخَرِفَسَوْفَ تَدْرِيْ كَيْفَ تَقْضِيْر قَالَ عَلِي فَمَازَلْتُ قَاضِيًا بَعْدُ
Terjemahnya: “Dari Ali Bin Abi Thalib, ia berkata Rasulullah SAW. telah bersabda: “Apabila 2 pihak meminta kepadamu keadilan maka janganlah engkau memutus hanya dengan mendengarkan keterangan dari satu pihak saja sehingga engkau mendengarkan keterangan dari pihak lainnya. Dengan demikian engkau akan mengetahui bagaimana seharusnya memutus. Ali berkata, tetaplah saya sebagai hakim sesudahku. (H.R. Ahmad, Abu Daud, Tarmidzy dan dihasankan dan dikuatkan oleh Ibn Al-Madany dan disahihkan oleh Ibn Hibban).
Karena pihak-pihak kemungkinan ada yang tidak hadir dan berbagai hal dan keadaannya selalu bahkan mungkin ada yang membangkang, maka demi kepastian hukum, cara-cara pemanggilan sidang diatur kongkrit sehingga terjadi penyimpangan dari prinsip, perkara tetap dapat diselesaikan.
Dalam berbagai kitab Fiqh Islam, memutus dengan verstek diperkenankan dan putusan verstek itu disebut al-Qada’u ‘ala al-Gaib. Kebolehan itu didasarkan kepada Sabda Rasulullah SAW. Riwayat Bukhori dan Muslim dari ‘Aisyah RA. yang berbunyi :
عَنْ عَائِسَةَ قاَلَتْ دَخَلَتْ هِنْدِي بِنْت عُتْبــَةَ اِمْرَأَة اَبِي سُفْيَان عَلىَ رَسُوْل الله صَلىَّ الله عَلَيْهِ وَسَلَّم فَقَالَتْ يَا رَسُوْل الله اِنَّ اَبَا سُفْيَان رَجُلٌ شَحِيْح لاَ يَعْطِيْنِي مِنَ التَّفَقَةِ مَايَكفيني وَيَكْفِي بَنِي اِلاَّ مَا اَخَذْ تَ مِن ْمَالِهِ بِغَيْر عِلْمِهِ فَهَلْ عَلِي فِي ذَالِكَ مِنْ جُنَاحٍ ؟ فَقَالَ خُذِي مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوْف مَايَكْفِيْكِ وَ يَكْفِيْ بَنِيْك.
Terjemahnya :Dari ‘Aisyah, Ia berkata: Hindun binti Utbah, istri Abu Sufyan datang kepada Rasulullah SAW. lalu berkata: Ya Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang lelaki yang kikir, Ia tidak memberi kepada saya nafkah yang mencukupi bagi diri saya dan anak saya, kecuali dari apa yang saya ambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa yang demikian itu? Maka Sabda Rasulullah: Ambillah dari hartanya apa yang mencukupimu dan anakmu dengan cara yang patut.
Putusan Rasulullah kepada Hindun ini tanpa dihadiri oleh Abu Sufyan ketika itu di perantauan, karenanya dijadikan landasan bolehnya memutus tanpa dihadiri oleh tergugat tersebut (verstek).
C.Macam-macam Azas Hukum Acara Perdata
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terus menerus sehingga menimbulkan kerugian kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak itu masing-masing itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa hak dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Ketentuan-ketentuan seperti “siapa yang mengambil barang milik orang lain dengan niat untuk dimiliki secara melawan hukum, siapa yang karena salahnya menimbulkan kerugian kepada orang lain diwajibkan mengganti kerugian kepada orang lain tersebut”. Dalam bukunya Sudikno Martokusumo “pedoman atau kaidah yang pada hakekatnya bertujuan untuk melindungi kepentingan setiap orang”.
Untuk menerapkan hukum acara dengan baik, maka perlu diketahui azas-azasnya. Azas-azas tersebut adalah :
1.Hakim bersifat menungggu
Azas ini mengandung arti yaitu, inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang berkpentingan. Jadi apakah ada perkara atau tuntutan hak akan diajukan sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, maka tidak ada hakim (Wo kein klager ist, ist kein richter, nemo judex sine actor). Jadi, yang mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan, sedang hakim bersikap menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya. Dasarnya adalah HIR pasal 118 dan R.Bg pasal 142. HIR pasal 118. Gugatan perdata yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan Negeri, harus dimasukan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya.
R.Bg pasal 142, Gugatan-gugatan perdata dalam tingkat pertama yang menjadi wewenang peradilan Negeri dilakukan oleh penggugat atau oleh seseorang kuasanya yang diangkat menurut ketentuan-ketentuan.
2.Hakim bersifat pasif
Hakim dalam memeriksa perkara serdikap pasif, artinya ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepadanya untuk diperiksa pada azasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan Hakim. Atau dengan kata lain Hakim tidak boleh menentukan luas dari pokok perkara, Hakim tidak boleh menambah atau mengurangi pokok gugatan para pihak. Hakim hanya diperbolehkan aktif dalam hal-hal tertntu, yaitu: Memimpin sidang, Dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan Hakim bertindak memimpin jalannya persidangan. Artinya Hakim yang mengatur dan mengarah tata tertib pemeriksaan, Hakim juga berwenang menentukan hukum yang diterapkan serta ia yang memutus perkara yang disengketakan. Sifat kedudukan Hakim yang aktif sesuai dengan sistim yang dianut HIR dan R.Bg, antara lain;
a.pemeriksaan persidangan secara langsung
b.proses beracara secara lisan
c.Mendamaikan kedua belah pihak
Azas mendamaikan para pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral. Sekedar penegasan bahwa usaha mendamaikan sedapat mungkin diperankan Hakim secara aktif, sebab bagaimana pun adilnya suatu putusan namun akan tetap lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian. Apalagi dalam perkara perceraian, usaha mendamaikan merupakan beban yang diwajibkan sehingga sifatnya imperatif artinya hakim harus berupaya secara optimal untuk bagaimana perceraian antara kedua belah pihak tidak terjadi.
Hakim aktif memberi petunjuk kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan. Banyak di antara para pencari keadilan yang tidak mampu dalam segala hal. Awam dalam hukum mengakibatkan ia harus bergulat sendiri di hadapan sidang, menghadapi para pencari keadilan semacam ini sangat memerlukan bantuan dan nasehat pengadilan. Mereka buta bagaimana cara yang tepat mempergunakan hak melakukan upaya banding atau kasasi dan tidak mampu merumuskan alasan-alasan memori banding dan memori kasasi. Disinilah peran hakim untuk memberi petunjuk dan upaya-upaya hukum kepada para pihak yang berperkara tentang upaya hukum dalam suatu putusan.

3.Ultra petita partium
Artinya Hakim tidak boleh memberi putusan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau tidak diminta dalam petitum atau mengabulkan lebih dari pada yang ditutuntut oleh penggugat. tetapi Hakim tidak dilarang memberi putusan yang mengurangi isi dari tuntutan gugatan. Landasanya adalah pasal 178 ayat 3 HIR, dan pasal 189 ayat 3 R.Bg. Pasal 178 ayat 3 HIR “Ia (Hakim) tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan daripada yang digugat”. Pasal 189 ayat 3 R.Bg. “Hakim dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak dimohon atau memberiklan lebih dari yang dimohon”.
4.Persidangan terbuka untuk umum (Openbaar)
Yang dimaksud dengan persidangan terbuka untuk umum adalah bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan serta menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara. Tujuan azas ini adalah:
a.Untuk menjamin pelaksanaan peradilan yang tidak memihak, yakni dengan meletakan peradilan dibawah penguasaan umum.
b.Untuk memberi perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia dalam bidang peradilan.
c.Untuk lebih menjamin obyektivitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair serta putusan yang adil kepada masyarakat.
Azas ini dijumpai dalam pasal 17 dan 18 UU No. 14 Tahun 1970 jo UU No 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 179 ayat (1), 317 HIR dan pasal 190 R.Bg. Kecuali dalam perkara perceraiaan. Akan tetapi walaupun pemeriksaan suatu perkara dilakukan tertutup untuk umum dalam perkara perceraian, namun putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan yang diucapakan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan. Meskipun hakim tidak menyatakan persidangan terbuka untuk umum, akan tetapi di dalam berita acara persidangan dicatat bahwa persidangan dinyatakan terbuka untuk umum, maka putusan yang telah dijatuhkan tetap sah.
5.Mendengarkan kedua belah pihak
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak dan didengar bersama-sama. Dengan kata lain para pihak yang berperkara harus diberikan kesempatan yang sama untuk membela kepentingannya atau pihak-pihak yang berperkara harus diperlakukan secara adil.
Pasal 5 ayat 1 UU No. 14 tahun 1970 menyatakan bahwa “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Mendengar kedua belah pihak yang berperkara dikenal dengan azas audi et alterampartem artinya Hakim tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak saja sebagai pihak yang benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya. Hal itu berarti bahwa pengajuan alat bukti harus dilakukan di muka sidang yang dihadiri oleh kedua belah pihak. Selain pasal 23 UU No. 14 Tahun 1970, dasar hukum yang lainnya dapat ditemukan dalam pasal 121 ayat (2), 132 a, HIR dan pasal 145 ayat (2), 157 R.Bg.
6.Putusan harus disertai alasan-alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan yang menjadi dasar untuk mengadili. Karena dengan adanya alasan-alsan maka putusan mempunyai wibawa, dapat dipertanggung jawabkan dan bernilai objektif. Menurut yurisprudensi suatu putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan pada tingkat kasasi untuk dibatalkannya putusan tersebut.
7.Berperkara dikenakan biaya
Untuk berperkara pada azasnya dikenakan biaya yang meliputi;
a.Biaya kepaniteraan dan biaya materai
b.Biaya saksi, saksi ahli, juru bahasa termasuk biaya sumpah
c.Biaya pemeriksaan setempat dan perbuatan hakim yang lain
d.Biaya pemanggilan para pihak yang berperkara
e.Biaya pelaksanaan putusan, dan sebagainya.
Pengecualian dari azas ini adalah bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara, dapat mengajukan perkara secara cuma-cuma (prodeo) dengan mendapatkan izin untuk dibebaskan dari pembayaraan biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu dari kepala Desa/Lurah yang diketahui oleh Camat yang membawahi domisili yang bersangkutan.
Dasar hukumnya adalah pasal 237 HIR “Orang-orang yang demikian, yang sebagai penggugat, atau sebagai tergugat hendak berperkara, akan tetapi tidak mampu membayar biaya perkara dapat diberikan izin untuk berperkara dengan tak berbiaya”. demikian pula yang terdapat dalam pasal 273 R.Bg. “penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya”.
8.Demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa
Artinya, setiap kepala putusan peradilan di Indonesia harus memuat kata-kata ini, yakni dengan menyandarkan “demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa”. Tidak dicantumkan kata ini, maka putusan itu tidak mempunyai kekuatan hukum sama sekali, dalam arti putusan tersebut tidak dapat dieksikusi dan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial (daya memaksa). Dasarnya adalah UU No. 14 Tahun 1970.
9.Azas sederhana, cepat dan biaya ringan
Yang dimaksud dengan Azas sederhana, cepat dan biaya ringan adalah:
a.Sederhana, acara yang jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Atau dengan kata lain suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan waktu jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri.
b.Cepat, menunjuk kepada jalannya peradilan dalam pemeriksaan dimuka sidang, cepat penyelesaian berita acaranya sampai penandatanganan putusan dan pelaksanaan putusannya itu.
c.Biaya ringan, biaya perkara pada pengadilan dapat dijangkau dan dipikul oleh masyarakat pencari keadilan.
D.Proses Penuntutan Perkara Perdata di Pengadilan
Seperti telah kita ketahui hukum Perdata mengatur hubungan hukum antara orang satu dengan orang lain dengan menitikberatkan pada kepentingan perorangan. Dalam hukum acara perdata diatur bagaimana cara pihak-pihak yang dirugikan mengajukan perkaranya ke pengadilan . Inisiatif perkara perdata datang dari pihak yang dirugikan, maksudnya apabila tidak ada gugatan/penuntutan dari pihak yang dirugikan maka perkara tersebut tidak dapat di proses lebih lanjut di pengadilan. Sedangkan proses penuntutan perkara perdata di pengadilan sebagai berikut:
1.Pihak yang merasa dirugikan (dalam hal ini masyarakat dengan didampingi konsultan yang kemudian disebut penggugat) mengajukan perkaranya ke pengadilan untuk memperoleh penyelesaian.
2.Surat gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (Pengadilan Negeri dimana peristiwa sengketa perdata terjadi ). isi surat gugatan sebagai berikut:
a.Surat gugatan berisi: keterangan lengkap mengenai pihak-pihak yang berperkara ( identitas penggugat dan tergugat, seperti nama, alamat, umur, pekerjaan, dll).
b.Dasar gugatan, yang berisi uraian tentang kejadian atau peristiwa yang menyebabkan kerugian pada salah satu pihak.
c.Tuntutan yang dimohonkan oleh penggugat agar dikabulkan oleh Hakim.
3.Surat gugatan diserahkan kepada panitera pengadilan negeri. Panitera menghitung biaya perkara yang dibutuhkan. Pihak penggugat harus menalangi terlebih dahulu biaya yang dikeluarkan dalam proses pengadilan ke bagian keuangan.
4.Pemeriksaan perkara dilakukan oleh Majelis hakim yang terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Ketua Majelis Hakim memerintahkan kepada pihak panitera untuk melayangkan Surat Panggilan terhadap penggugat dan tergugat untuk mengadiri sidang pada waktu yang telah ditentukan.
5.Pihak penggugat dan tergugat menghadiri sidang pada waktu yang telah ditentukan bersama saksi-saksi dan alat bukti yang diperlukan. Dalam perkara perdata tidak ada Jaksa Penuntut Umum , karena yang berkepentingan dalam perkara ini adalah pihak-pihak secara pribadi. Apabila dalam sidang ada jaksa maka jaksa tersebut mewakili dan untuk membela kepentingan pemerintah/ Negara. Jadi jaksa berstatus sebagai salah satu pihak yang berperkara.
6.Sidang dibuka dan terbuka untuk umum oleh Ketua Majelis. Majelis memeriksa identitas penggugat dan tergugat, majelis membacakan gugatan kepada tergugat. Dalam sidang pertama hakim menawarkan upaya perdamaian, apabila perdamaian tidak tercapai pemeriksaan perkara dilanjutkan.
7.Majelis hakim memeriksa dan memperhatikan peristiwa/kejadian yang dikemukakan oleh para pihak. Para pihak wajib memberikan keterangan disertai dengan alat bukti yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar