Selasa, 19 Januari 2010

filsafat hukum islam tentang pornografi dan pornoaksi

TANTANGAN FILSAFAT HUKUM ISLAM

DALAM LEGISLASI PORNOGRAFI DAN PORNOAKSI

(Pornography and Obscenity: Challenges to Philosophy of Islamic Law)

Oleh Z. Fikri#

(DRAFT)

ABSTRAK

Pendahuluan

Pornografi adalah fenomena kontemporer dalam industri kebudayaan kapitalis. Masyarakat dan sistem ekonomi kapitalis menganut paham kepemilikan pribadi (private ownership) atas suatu objek atau gagasan. Kalau Saya memiliki sesuatu, maka Saya mempunyai sejumlah hak atasnya. Jadi, jika Saya memiliki tubuh, Saya punya hak untuk menjualnya, memeliharanya, menghancurkannya, atau membuang tubuh Saya ke laut untuk bunuh diri. Semuanya, terserah Saya karena ini adalah tubuh Saya. Sebagai individu yang mempunyai hak-hak atas tubuh Saya, maka Saya menikmati kepemilikan pribadi atas tubuh Saya itu.

Grafi atas tubuh merupakan bisnis besar dari industri kapitalis. Tubuh menjadi bahan bakunya. Jika Saya adalah laki-laki ganteng atau perempuan cantik dan memiliki tubuh yang sesuai dengan bahan baku yang diinginkan oleh mesin produksi industri tubuh, maka Saya sebagai pemilik bahan baku (baca: tubuh) berhak menjualnya untuk mendapatkan uang sebagai nilai tukarnya. Selanjutnya berdasarkan “kontrak jual-beli tubuh”, Saya berikan hak kepada industri tubuh untuk meng-grafikan tubuh Saya dalam bentuk majalah, koran, tabloid atau dalam bentuk gambar bergerak di televisi, film layar lebar, VCD, DVD, Internet. Atau Saya menjual tubuh Saya kepada industri model, iklan, pertunjukan dalam segala bentuknya. Saya tidak peduli bahwa grafi atas tubuh Saya itu dijual oleh industri untuk dinikmati oleh semua orang tua muda, dipajang di pinggir-pinggir jalan sampai di mall sekalipun. Saya tidak peduli ada orang yang melakukan pelecehan, kekerasan, perkosaan atas perempuan, setelah menikmati grafi atas tubuh Saya yang ia beli dari mulai pasar gelap sampai pasar resmi sekalipun. Itu bukan urusan Saya, yang salah bukan Saya, salahkan orang yang menikmati grafi tubuh-Saya, kenapa tidak bisa menahan diri.

Singkatnya, argumennya adalah “Ini adalah tubuh Saya”, terserah kepada Saya melakukan apapun atas tubuh Saya. Terserah Saya membuka bagian mana saja dari tubuh Saya. Saya mau memakai pakaian apa saja terserah Saya. Anda tidak berhak mengatur Saya dan mendikte Saya untuk menutupi ini-itu. Kalau Anda terangsang melihat bagian-bagian tubuh Saya yang Saya buka, itu bukan salah Saya, salah Anda sendiri. Anda memang salah, Anda melihat tubuh Saya, lalu mengkhayal, lalu terangsang. Saya tidak bermaksud membuat Anda mengkhayal dan atau terangsang. Banyak orang melihat Saya, tapi mereka tidak terangsang. Bukan Saya yang salah kan, otak Anda saja yang memang jorok.

Itulah kira-kira salah satu alur pikir yang mengitari penolakan terhadap RUU APP. Ada semangat perlawanan di dalamnya. Perlawan terhadap serangan pihak luar yang memasuki wilayah pribadi: tubuh Saya. RUU APP adalah salah satu bentuk serangan itu. Negara melalui RUU ini mengharuskan setiap individu menutupi alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan. Tidak boleh terlihat sebagian maupun seluruhnya.

Selanjutnya jalan fikirnya, kalau RUU ini disahkan, Saya sebagai pekerja yang menjual tubuh, tidak bisa lagi menjual bagian-bagian tubuh Saya itu untuk digrafikan. Padahal Saya kan cuma memperlihatkan sebagian saja, tidak seluruhnya. Saya adalah pihak yang dirugikan oleh RUU ini karena itu Saya harus bersuara, menggalang kekuatan sesama pekerja penjual tubuh, bekerja sama dengan pemilik modal dan industri tubuh.

Tapi, argumen kepemilikan pribadi atas tubuh bukan tanpa kelemahan. Masalahnya, apakah dalam demokrasi, setiap warga negara bebas berbuat tanpa peduli akibatnya? Apakah tidak ada konsep tentang warga negara yang bertanggung jawab?

Saya berkeyakinan, dalam demokrasi juga harus ada keseimbangan antara hak atas kebebasan individual dan tanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan oleh hak itu. Dalam konteks pornografi, mereka yang terlibat dalam proses produksi dan penyebaran bahan-bahan porno harus juga bertanggung jawab terhadap dampak publik yang timbul dari tindakan-tindakan seperti itu. Semakin jauh pornografi dari nilai tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap warga negara, maka semakin jauh pornografi dari nilai demokrasi.

Mereka yang berargumen dengan kebebasan berekspresi biasanya mengacu kepada Declaration of Human Rights, Pasal 19, yang berbunyi:”Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan mempunyai pendapat-pendapat dengan tidak mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat-pendapat dengan cara apapun juga dan tidak memandang batas-batas.”

Namun, mereka yang menggunakan pasal ini tidak mempertimbangkan Covenant on Civil and Political Rights, Pasal 19 (1 & 2) bahwa kebebasan berekspresi “dapat dikenakan pembatasan-pembatasan tertentu, tetapi pembatasan-pembatasan ini terbatas pada yang sesuai dengan ketentuan hukum dan yang perlu: (a) untuk menghormati hak-hak atau nama baik orang lain; (b) untuk perlindungan keamanan nasional atau ketertiban umum, atau kesehatan dan moral umum.”

Selanjutnya yang harus disadari adalah bahwa industri kapitalis berkepentingan untuk melakukan akumulasi modal, yang penting adalah “mencetak uang” untuk mengumpulkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Kapitalis tidak peduli dengan nilai-nilai agama sampai nilai-nilai estetik sekalipun dalam grafi tubuh. Yang dihitung kapitalis adalah berapa uang yang bisa dihasilkan dari komoditas yang bernama tubuh. Kalau, Anda tidak percaya, ketika ada ajang adu kecantikan Miss Universe, misalnya, silahkan Anda kunjungi website-nya. Klik bagian “photos”, pasti Anda diminta terlebih dahulu memasukkan nomor rekening dan menyetor sejumlah uang untuk bisa melihat foto-foto para perserta kontes itu. Ini urusan tubuh dan duit! Jual-beli beras saja diatur, masa jual-beli tubuh tidak diatur!

Salah satu pertimbangan berbagai hukum tentang pornografi yang muncul di negara Eropa Kontinental, Inggris dan Amerika adalah sebagai respons terhadap komersialisasi pornografi. Oleh karena ini adalah bisnis besar, maka proses produksi, distribusi, dan penjualannya harus diatur. Bagi mereka yang tidak suka argumen moral dan agama, mestinya harus mempertimbangkan juga argumen bahwa industri pornografi telah memperjualbelikan tubuh dan tidak jarang dalam proses produksi banyak terjadi penindasan terhadap perempuan, terutama pornografi yang diproduksi oleh kelompok-kelompok kejahatan terorganisir.

Konteks Indonesia

Di Indonesia, hukum tentang pornografi terdapat dan menyebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang secara langsung dan tidak langsung mengatur tentang pornografi. Diantaranya adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang antara lain mengatur tentang tindak pelanggaran kesusilaan dalam Buku II, Bab XIV tentang kejahatan terhadap kesopanan yang dikenal sebagai “delik susila”. Tindak pelanggaran kesusilaan berupa kejahatan pornografi secara khusus diatur pada pasal 282 ayat 1, 2 dan 3, pasal 283 ayat 1,2,3 dan pasal 283 bis. Pengaturan tentang pornografi secara tidak langsung juga dimuat dalam pasal 6 UU No 24/1997 Tentang Penyiaran. Dalam pasal 4 UU tersebut dinyatakan bahwa tujuan penyiaran adalah menumbuhkan dan mengembangkan sikap mental masyarakat yang beriman dan bertakwa serta meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dalam kehidupan sistem pers nasional khususnya pengaturan tentang pornografi secara implisit juga terdapat dalam UU No 40/1999 Tentang Pers. Namun berbagai peraturan perundang-undangan tersebut belum satupun yang secara tegas mendefinisikan pornografi.[1]

Delik pornografi digolongkan sebagai tindak pidana melanggar kesusilaan (zedelijkheid), yaitu yang khusus berkaitan dengan seksualitas. Menurut Wirjono Prodjodikoro, rumusan pasal-pasal dalam KUHP tidak menyebut kata “pornografi” secara langsung (letterlijk). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, para ahli ilmu hukum menggunakan istilah delik pornografi ini untuk membedakannya dengan kejahatan dan/atau pelanggaran kesopanan yang lain. Wirjono menyebut kejahatan dan pelanggaran ini sebagai “Tindak Pidana mengenai Pornografi”.

Ketidakjelasan definisi pornografi dalam sistem hukum nasional, membawa dua dampak sekaligus yaitu; kerugian dan juga keuntungan.[2] Kerugian ini terjadi, karena selama ini KUHP telah “menyerahkan” tafsir pelanggaran kesusilaan kepada majelis hakim. Penyerahkan penafsiran pornografi pada hakim di satu sisi dapat menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Sedangkan nilai keuntungan yang dapat diperoleh bahwa KUHP telah memberikan ruang pada perubahan zaman dalam menafsirkan sebuah informasi dapat dikatakan pornografi atau tidak lagi.

Munculnya RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP)[3] adalah salah satu upaya untuk memberikan definisi yang tegas dan jelas tentang pornografi dan pornoaksi. RUU ini telah diajukan sejak tahun 1999 dan belum sampai pada kata sepakat sampai sekarang. Namun, apakah betul bahwa RUU ini telah memberikan definisi legal yang tegas dan jelas? Dengan membaca “definisi pornografi” yang disusun dari semua unsur yang tersebar dalam pasal-pasal RUU APP, Saya menyusul ulang definisi pornografi dalam RUU ini sebagai berikut: Pornografi adalah substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan gagasan-gagasan yang mengeksploitasi:

  1. daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, DAN ATAU
  2. melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks, DAN ATAU
  3. aktivitas orang dalam berhubungan seks.

Dengan rincian sebagai berikut:

1. Daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa, yaitu:

  1. adalah alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan, baik terlihat sebagian maupun seluruhnya (Penjelasan)
  2. ketelanjangan tubuh orang dewasa (psl.5)
  3. tubuh atau.bagian-bagian tubuh orang yang menari erotis atau bergoyang erotis (psl.6)
  4. aktivitas orang yang melakukan masturbasi atau onani (psl.7)

2. Melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks, yaitu:

  1. aktivitas orang yang berciuman bibir (psl.7)
  2. melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis (psl.9(1))
  3. melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan pasangan sejenis (psl.9(2)
  4. melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan orang yang telah meninggal dunia (psl.9(3)
  5. melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan hewan (psl.9(4)
  6. aktivitas yang mengarah pada hubungan seks dengan anak-anak (psl.11(2))

3. Aktivitas orang dalam berhubungan seks

  1. Hubungan seks adalah kegiatan hubungan perkelaminan baik yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri maupun pasangan lainnya yang bersifat heteroseksual, homoseks atau lesbian (Pengertian: psl.1(15))
  2. aktivitas orang dalam berhubungan seks dengan pasangan berlawanan jenis(psl.9(1))
  3. aktivitas orang dalam berhubungan seks dengan pasangan sejenis (psl.9(2))
  4. aktivitas orang dalam berhubungan seks dengan orang yang telah meninggal dunia (psl.9(3)
  5. aktivitas orang dalam berhubungan seks dengan hewan (psl.9(4))
  6. orang berhubungan seks dalam acara pesta seks (psl.10(1))
  7. Aktivitas orang dalam pertunjukan seks (psl.10(2))
  8. aktivitas anak-anak yang melakukan hubungan seks (psl.11(1))
  9. aktivitas orang yang melakukan hubungan seks dengan anak-anak (psl.11(2))

Berbagai kelompok yang menggugat definisi dan rumusan di atas menyatakan bahwa semua itu bias standar mayoritas (Islam). Apakah klaim itu beralasan? Saya kira gugatan itu memang cukup beralasan, unsur “(1) daya tarik bagian tubuh tertentu yang sensual dari orang dewasa” adalah diambil dari ajaran Islam tentang aurat dengan batasan mendekati minimal; dan unsur “(2) melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks” adalah diambil dari Al-Qur’an QS. Isra’ 17: 32, yaitu:

وَلاَ تَقْرَبُواْ الزِّنَى إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاء سَبِيلاً

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

Jadi, istilah “mengarah pada hubungan seks” adalah ungkapan lain dari “mendekati zina.”

Mengenai bagian-bagian tubuh yang tidak boleh diperlihatkan ini, misalnya, Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo No 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat Pasal 6 berbunyi: (2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat. Dan Pasal 7 (1) Setiap orang di tempat umum dilarang dengan sengaja mempertontonkan bagian tubuh dan atau bertingkah laku tidak senonoh sehingga dapat merangsang nafsu birahi. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa busana sopan adalah busana yang tidak memperlihatkan paha (rok mini),belahan dada, pusar, ketiak dan pangkal lengan, dan tidak ketat.[4]

Dari ketiga unsur di atas yang paling tidak jelas adalah apa yang dimaksud dengan “mengarah pada hubungan seks”? Dalam RUU ini, kecuali “aktivitas orang ciuman bibir”, tidak ada definisi maupun penjelasan kata-kata ini. Di kalangan umat Islam, pandangan yang dominan tentang “mendekati zina” adalah termasuk berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi, berciuman, berpelukan, bergandengan tangan, dan jenis-jenis persentuhan lainnya yang dapat ditindaklanjuti (jika pihak yang terlibat mau) sampai pada tahap persentuhan antar kelamin.

Mengenai perbuatan mengarah kepada seksual ini, misalnya, Perda Provinsi Gorontalo berbunyi: Pasal 3 (1) Setiap laki-laki dan perempuan secara bersama-sama atau berpasangan yang bukan suami istri, dilarang berada di tempat dan atau waktu tertentu yang tidak patut menurut norma agama, kesusilaan dan adat istiadat. Dalam penjelasan disebutkan bahwa tempat yang tidak patut menurut norma agama dan adat, misalnya di tempat-temp’at sepi, dan lain-lain, yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat. Yang dimaksud dengan berduaan adalah perbuatan / sikap intim dua orang yang berlainan jenis kelamin, baik dalam keadaan duduk-duduk, berjalan, berkenderaan, yang dilakukan berulang-ulang, di luar aktifitas pekerjaan. Yang dimaksud dengan ‘muhrim’ adalah laki-laki atau perempuan yang haram dinikahi menurut agama Islam, yaitu orang tua, anak, saudara, saudara sesusuan, ibu susu, keponakan, paman dan bibi, menantu, mertua, anak tiri, kakek nenek dan cucu.

Yang juga mengatur hal ini adalah Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Pada pasal 4 ayat 2 Perda ini menyatakan, siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat lain yang kelihatan umum.[5]

Saya yakin unsur yang kemungkinan besar dapat disepakati oleh semua komponen bangsa Indonesia yang Bhinneka adalah definisi hubungan seks dalam unsur “(3) Aktivitas orang dalam berhubungan seks”. Tampaknya tidak akan banyak menimbulkan kontroversi dalam konteks bangsa Indonesia yang dihuni oleh berbagai agama, ras, suku, golongan, dan kebudayaan.

Persolannya: Apakah standar dari golongan mayoritas (Islam), terutama unsur (1) dan (2), akan mendapat persetujuan pikiran dan perbuatan dengan segala orang Indonesia yang Bhinneka?

Bagaimana dengan definisi pornoaksi? Definisinya sama dengan pornografi, hanya saja berbeda dari segi tempatnya. Pornografi lebih mengacu kepada substansi di media, sedangkan pornoaksi lebih mengacu kepada perbuatan di muka umum.

Dengan membaca semua unsur yang tersebar dalam pasal-pasal, Saya dapat menyusun ulang definisi porno-aksi dalam RUU ini sebagai berikut: Pornoaksi adalah perbuatan mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika di muka umum, yaitu meliputi: 1. Aksi di muka umum; 2. Aksi pada acara pertunjukan seks dan atau pesta seks; 3. Membantu unsur (1 & 2) di atas. Berdasarkan tiga unsur di atas rinciannya adalah sebagai berikut:

1.Aksi di muka umum meliputi setiap orang yang dan atau menyuruh orang lain:

  1. mempertontonkan (berpakaian yang tidak menutupi) sebagian atau seluruhnya dari alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan (psl.25(1)).
  2. telanjang di muka umum (psl.26(1))
  3. berciuman bibir di muka umum (psl.27(1))
  4. menari erotis atau bergoyang erotis di muka umum (psl.28(1))
  5. melakukan masturbasi, onani atau gerakan tubuh yang menyerupai kegiatan masturbasi atau onani di muka umum (psl.29(1))
  6. melakukan hubungan seks atau gerakan tubuh yang menyerupai kegiatan hubungan seks di muka umum (psl.30(1))

2. Aksi pada acara pertunjukan seks dan atau pesta seks meliputi setiap orang yang menyelenggarakan dan atau menonton acara pertunjukan seks, acara pertunjukan seks dengan melibatkan anak-anak, acara pesta seks, acara pesta seks dengan melibatkan anak-anak.

3. Membantu unsur (1 &2) dengan menyediakan dana, menyediakan tempat, menyediakan peralatan dan atau perlengkapan.

Pasal yang paling krusial adalah tentang aksi di muka umum, terutama larangan mempertontonkan (berpakaian yang tidak menutupi) sebagian atau seluruhnya dari alat kelamin, paha, pinggul, pantat, pusar, dan payudara perempuan (psl.25(1)). Krusial karena menyangkut cara berpakaian. Pertama, persoalan standar kebudayaan yang Bhinneka dalam berpakaian. Kedua, perempuan akan banyak menjadi korban pasal-pasal ini. Ketiga, tempat-tempat wisata.

Di Indonesia, kontroversi terutama tentang RUU APP lebih mengarah kepada persoalan ke-Bhinneka-an bangsa Indonesia. Argumen-argumen yang muncul adalah persoalan mayoritas-minoritas, keanekaragaman budaya. Walaupun demikian juga muncul argumen tentang moralitas sebagai wilayah pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh negara serta perlunya pemilahan antara kepentingan anak-anak di bawah umur dan kepentingan orang-orang dewasa. Gerakan kaum perempuan mengkhawatirkan, khususnya pornoaksi, akan meningkatkan kekerasan terhadap perempuan karena sebagian unsur masyarakat suka main hakim sendiri dan struktur masyarakat yang patriarkis serta tidak memberi ruang bagi perempuan untuk mendefinisikan dirinya sendiri.

Apakah hukum tentang pornografi dan pornoaksi harus disusun dalam satu Undang-undang atau menyebar dalam beberapa Undang-undang dan Peraturan? Mengenai hal ini, pihak-pihak yang tidak setuju dengan RUU APP terbagi menjadi dua: pertama, mereka yang tidak setuju sama sekali dengan RUU ini dan mengusulkan revisi perundang-undangan dan peraturan yang sudah ada, seperti KUHP, tentang Pers, Perlindungan Anak, Kekerasan terhadap Perempuan. Kedua, mereka yang tidak setuju dengan beberapa hal yang ada dalam RUU ini dan menuntut untuk direvisi sebelum disahkan. Sedangkan mereka yang setuju, juga terbagi ke dalam dua kelompok: pertama, setuju bulat-bulat dengan RUU ini. Kedua, setuju pada hal-hal tertentu saja. Kemudian, ada unsur ketika yang tidak setuju sama sekali dan tidak memberikan solusi atau alternatif apa-apa. Selanjutnya, ada pihak yang memilah persoalan: setuju pornografi diatur, namun tidak setuju pornoaksi diatur.

Argumen ke-Bhinneka-an adalah relevan jika yang dituju adalah usaha merumuskan definisi yang dapat dicapai secara konsensus nasional tanpa pemaksaan standar mayoritas. Beberapa tokoh seniman, agamawan, cendekianwan, LSM, mahasiswa, budayawan dan birokrat Bali, misalnya, mengancam akan keluar dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) jika RUU ini ditetapkan menjadi Undang-undang. Namun, argumen ini tidak relevan jika yang dituju adalah penolakan terhadap pelarangan dan pembatasan pornografi. Bagaimanapun juga, bangsa ini harus mempunyai definisi yang jelas tentang pornografi tentunya tanpa pemaksaan standar golongan tertentu.

Persoalan selanjutnya adalah tentang pornoaksi. Sebenarnya, wilayah yang paling kontroversial di RUU APP ini adalah pada bagian pornoaksi ini. Saya sendiri tidak setuju pornoaksi di atur oleh negara saat ini. Pertama, persoalan ke-Bhinneka-an. Kedua, persolan sebagian masyarakat kita masih sering melakukan main hakim sendiri sebelum sampai ke pengadilan. Namun, Saya setuju kalau yang harus diatur dengan jelas adalah aspek komersil dari pornografi.

Islam: Melindungi Perempuan

Pelecehan seksual terhadap perempuan bisa berupa kata-kata dan tindakan. Tentang pelecehan seksual dengan kata-kata dan tindakan ini Rasulullah saw pernah menegur kaum laki-laki yang suka nongkrong di jalan. Rasulullah saw bersabda: “Hati-hatilah kalian ketika duduk-duduk di jalan, namun jika kalian tetap ingin menjadikan jalan sebagai tempat duduk maka berilah jalan haknya: menahan pandangan, menghindari pelecehan, menjawab salam, mengajak kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar ( Muttafaqun ‘Alaihi). Hadis lengkapnya adalah sebagai berikut:

عن أبي سعيد قال، قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “إياكم والجلوس على الطرقات” قالوا: يا رسول اللّه لا بد لنا من مجالسنا نتحدث فيها، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “إن أبيتم فأعطوا الطريق حقه” قالوا: وما حق الطريق يا رسول اللّه؟ قال: “غض البصر، وكف الأذى، ورد السلام، والأمر بالمعروف والنهي عن المنكر”

Ada dua istilah dalam hadis itu yang berhubungan dengan pelecehan seksual: yaitu “ غض البصر ” dan “كف الأذى .” Pada bagian ini, saya akan membahas makna “kaffu al-aza” dan hubunggannya dengan pelecehan seksual. Istilah ini di dalam Al-Qur’an, antara lain terdapat dalam QS. Al- Ahzab 33: 59 terdapat ungkapan dari Allah, yaitu “فلا يؤذين “. Imam Al-Tabari dalam Kitab Tafsirnya, Al-Jami’ Al-Bayan ‘An Ta’wili Ayi Al-Qur’an, ketika menjelaskan makna kat-kata ini, mengutip hadis dari Abi Shalih bahwa di Madinah, para lelaki suka duduk-duduk di pinggir jalan untuk menggoda perempuan, terutama para budak, dan bercumbu rayu dengan mereka. Mereka juga seringkali mengeluarkan kata-kata jorok yang tidak enak didengar dan melukai hati perempuan (أذاهن بقول مكروه ). Jadi, Rasulullah saw melarang kaum laki-laki melecehkan perempuan dengan mengelurkan kata-kata yang bersifat seksual yang melukai hati kaum perempuan.

Seringkali orang membaca ayat Al-Ahzab di atas sebagai kewajiban atau anjuran berjilbab bagi kaum perempuan, tetapi mereka melupakan hadis Nabi tentang larangan melecehkan perempuan. Kalau kita membaca kedua-duanya, kita mengetahui bahwa Allah dan Rasul-Nya bukan hanya mengatur kaum perempuan, tapi juga mengatur kaum lelaki. Bukan hanya perempuan yang dianjurkan untuk tampil dengan pakain sopan, lelaki yang melihat pun harus menjaga pandangan dan perkataan mereka.

Sekarang ini, pelecehan terhadap kaum perempuan bukan hanya di jalanan, tapi juga di tempat-tempat lainnya: sekolah, kampus, halte bus, di bis kota, supermarket, mall, taman-taman kota, pasar, kantor, pabrik, alun-alun, kaki lima, stadion, lapangan, ruang interogasi, penjara, tempat kerja dan seterusnya. Seringkali yang menjadi korban pelecehan itu adalah perempuan. Tetapi, anehnya yang diatur oleh pemerintah dari pemerintah pusat sampai di daerah-daerah adalah perempuannya. Padahal mereka adalah korban. Mestinya yang diatur itu adalah orang-orang yang melecehkan kaum perempuan itu. Di sini terjadi kesalahan dalam memahami terjadi pelecehan seksual. Selalu perempuan yang dianggap pihak yang salah. Padahal kesalahannya ada pada lelaki yang memandang perempuan sebagai objek seks. Kaum perempuan sebenarnya berada pada posisi yang lemah, objek dan korban. Oleh karena itu mereka harus dilindungi dari perbuatan laki-laki yang memperlakukan perempuan sebagai objek seks semata. Caranya adalah melarang laki-laki melecehkan perempuan.

Mari kita lihat kekeliruan berfikir ini pada Perda Provinsi Gotontalo No 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat. Ketika membaca definisi legal pelecehan seksual pada Perda ini, saya merasakan definisi begitu bagus: “Pelecehan seks adalah merendahkan harkat dan martabat seorang laki-laki atau perempuan oleh seorang atau sekelompok orang yang bertendensi seks di tempat umum atau tempat tertentu.” Definisi ini bagus sekali karena ingin mengangkat harkat dan martabat bukan hanya kaum lelaki, tetapi juga kaum perempuan.

Tapi sayangnya definisi yang bagus ini tidak ditindaklanjuti oleh Pasal yang mengangkat harkat perempuan, malah menyudutkan perempuan. Perempuan malah dianggap sebagai pihak yang menyebabkan terjadinya perkosaan dan pelecehan seks. Ini tercermin dari Bab Pencegahan Perkosaan dan Pelecehan Seks Pasal 6 (1) Setiap perempuan dilarang berjalan sendirian atau berada di luar rumah tanpa ditemani muhrimnya pada selang waktu pukul 24:00 sampai dengan pukul 04:00, kecuali dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan. (2) Setiap perempuan di tempat umum wajib berbusana sopan. (3) Dilarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan atau lomba kecantikan yang menampilkan perempuan dengan busana yang minim dan atau ketat.

Lagi-lagi yang diatur adalah kaum perempuan. Kaum pria sama sekali tidak diatur. Perda ini tidak mengatur laki-laki, misalnya: Perkataan apa saja yang tidak boleh keluar dari mulut lelaki terhadap perempuan (pelecehan verbal)? Perbuatan tangan jahil apa saja yang tidak boleh dilakukan lelaki kepada perempuan? Di mana saja laki-laki dilarang nongkrong?

Pelecehan seksual itu seringkali dialami oleh kaum perempuan, antara lain: dicolek, disenggol, digerayangi, ditekan oleh orang yang menggesekkan atau menyenderkan tubuh (biasanya di tempat ramai dan padat), komentar dan perkataan jorok, ditekan atasan di kantor untuk melakukan hal-hal berbau seks atau perbuatan seksual kalau ingin tetap kerja atau naik gaji, diserang, diperkosa. Di kampus, ada dosen-dosen yang berkata kepada mahasiswinya “Kalau ingin dapat A, layani Saya.” Itu semua terjadi, karena kaum lelaki memandang perempuan sebagai objek seks, pihak yang lemah dan dapat dikuasai, dipaksa, kalau perlu dengan kekerasan.

Nafsu Birahi dan Mendekati Zina

Dalam RUU APP dan berbagai peraturan daerah ada larangan “melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seks” dan “larangan memperlihatkan bagian-bagian tubuh tertentu di muka umum yang dapat membangkitkan birahi.” Ini adalah salah satu unsur yang paling tidak jelas maknanya dan proses pembuktiannya secara objektif-faktual. Apa yang dimaksud dengan “mengarah pada hubungan seks” dan “bernafsu birahi”? Bagaimana pembuktiannya di pengadilan? Kalau kita melihat teks-teks di dunia Islam, pernyataan ini menyerupai ungkapan yang ada dalam Al-Qur’an QS. Isra’ 17: 32, yaitu: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” Jadi, istilah mengarah pada hubungan seks” adalah ungkapan lain dari “mendekati zina.”

Di kalangan umat Islam, pandangan yang dominan tentang “mendekati zina” adalah termasuk berdua-duaan dengan lawan jenis di tempat yang sepi, berciuman, berpelukan, bergandengan tangan, dan jenis-jenis persentuhan lainnya yang dapat ditindaklanjuti (jika pihak yang terlibat mau) sampai pada tahap persentuhan antar kelamin.

Mengenai perbuatan mengarah kepada seksual ini, misalnya, Perda Provinsi Gorontalo No 10 Tahun 2003 tentang Pencegahan Maksiat: Bab III tentang Pencegahan Zina, Pasal 3: (1) Setiap laki-laki dan perempuan secara bersama-sama atau berpasangan yang bukan suami istri, dilarang berada di tempat dan atau waktu tertentu yang tidak patut menurut norma agama, kesusilaan dan adat istiadat; (2) Dilarang bagi setiap laki-laki hidup bersama dengan perempuan yang bukan istrinya, atau perempuan dengan laki-laki yang bukan suaminya. Dalam penjelasan disebutkan:

Pasal 3 Ayat(1) Tempat yang tidak patut menurut norma agama dan adat, misalnya di tempat-temp’at sepi, dan lain-lain, yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat. Ayat (2) Yang dimaksud dengan berduaan adalah perbuatan /sikap intim dua orang yang berlainan jenis kelamin, baik dalam keadaan duduk-duduk, berjalan, berkenderaan, yang dilakukan berulang-ulang, di luar aktifitas pekerjaan. Yang dimaksud dengan ‘muhrim’ adalah laki-laki atau perempuan yang haram dinikahi menurut agama Islam, yaitu orang tua, anak, saudara, saudara sesusuan, ibu susu, keponakan, paman dan bibi, menantu, mertua, anak tiri, kakek nenek dan cucu.

Mengenai bagian tubuh yang membangkitkan birahi terdapat pada Pasal 7 (1) Setiap orang di tempat umum dilarang dengan sengaja mempertontonkan bagian tubuh dan atau bertingkah laku tidak senonoh sehingga dapat merangsang nafsu birahi. Dalam Penjelasan disebutkan bahwa busana sopan adalah busana yang tidak memperlihatkan paha (rok mini),belahan dada, pusar, ketiak dan pangkal lengan, dan tidak ketat.

Yang juga mengatur hal ini adalah Perda Kota Tangerang No 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran. Pada pasal 4 ayat 2 Perda ini menyatakan, siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat-tempat lain yang kelihatan umum.

Makna “mendekati zina” dan “membangkitkan nafsu birahi” ini ketika dimasukkan ke pasal-pasal hukum positif menjadi tidak jelas karena memang belum ada ulama fiqh yang secara tuntas membahasnya, mulai definisi, sampai proses pembuktian di pengadilan. Kemudian pemahaman tentang mendekati zina lebih bersifat tekstual dan tidak ditunjang oleh kajian pengalaman sehari-hari dan ditunjang oleh disiplin ilmu lainnya. Padahal “perbuatan mendekati zina” mempunyai unsur yang kompleks. Zina mata, misalnya, dari sudut fisiologis (mata melihat), psikologi-kognitif (jiwa berkhayal), dan fisiologis (alat kelamin menegang). Jadi dalam perbuatan mendekati zina itu minimal ada dua proses: kerja fisikis-mata-melihat plus kerja psikis-jiwa-berkhayal. Inilah yang disebut “melihat dengan nafsu.” Jika, ditambah unsur ketiga, yakni alat kelamin “ON”, maka ini disebut “melihat dengan nafsu birahi.”

Seseorang bisa saja melihat lawan jenisnya dengan matanya, namun tatapan itu tidak ia tindaklanjuti dengan membayangkan hubungan seksual dengan orang yang ia lihat di dunia khayalan dan atau ditindaklanjuti sampai kepada hubungan seksual di dunia nyata. Begitu juga seseorang bisa saja menyentuh lawan jenisnya, namun tidak diikuti oleh khayalan seksual. Para ulama tafsir biasanya menyebut jenis tatapan ini adalah “melihat tanpa syahwat.” Singkatnya, silahkan lihat, tapi jangan sampai berkhayal, apalagi lalu bernafsu birahi. Kalau Anda tidak mampu menahan kesadaran jiwa Anda untuk mengkhayal yang bukan-bukan, maka sebaiknya tatapan Anda dihentikan. Pada manusia khayalan adalah bukan instink, namun suatu perbuatan sadar. Begitu juga alat kelamin menegang adalah perbuatan sadar yang diperintahkan oleh otak.

Ahli tafsir, seperti Ibn Katsir, misalnya, ketika membahas ayat QS. An-Nur 24: 30-31 bahwa “kaum pria harus yaghudduu min absharihim dan kaum perempuan juga harus yaghdudna min absharihinna,” beliau menjelaskan ayat-ayat ini dengan mengutip hadis Nabi yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa sebagian dari zina adalah zina mata. Zina mata adalah mata melihat, DAN jiwa menginginkan yang dilihat DAN berkhayal, DAN sehingga alat kelamin “menyatakan OK” ATAU “menyatakan NO.” Begitu juga zina tangan adalah tangan menyentuh DAN jiwa menginginkan yang disentuh DAN berkhayal DAN sehingga alat kelamin “menyatakan aku jadi ON” ATAU “menyatakan aku OFF saja.”

Hadis yang dimaksud adalah:

عن أبي هريرة رضي اللّه عنه أنه قال، قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “كتب على ابن آدم حظه من الزنا أدرك ذلك لا محالة، فزنا العينين النظر، وزنا اللسان النطق، وزنا الأذنين الاستماع، وزنا اليدين البطش، وزنا الرجلين الخطى، والنفس تمنّي وتشتهي، والفرج يصدق ذلك أو يكذبه”

Kalau kita memahami huruf “و” atau kata DAN adalah sebagai PLUS (+), maka melihat saja MINUS (-) berkhayal adalah tidak termasuk zina mata. Pemahaman ini kebenarannya harus dibuktikan secara nyata apa yang terjadi pada pengalaman sehari-hari orang-orang yang melihat lawan jenisnya atau menyentuh lawan jenisnya. Kita perlu melakukan penelitian wawancara dengan pertanyaan: Apakah setiap kali Anda melihat lawan jenis, Anda berkhayal bahwa Anda sedang berhubungan seksual dengannya dan/ atau alat kelamin Anda menjadi “ON”? Atau melakukan penelitian eksperimental dengan memasang alat tertentu untuk menangkap kerja otak seseorang ketika melihat lawan jenisnya? Yang ini kelihatnnya sulit dilakukan. Mungkin penelitian eksperimental yang mungkin dilakukan adalah memantau pergerakan alat kelamin ketika seseorang melihat lawan jenisnya?

Kalau ternyata seseorang bisa saja melihat lawan jenisnya tanpa nafsu atau dalam bahasa aktivis gendernya “melihat lawan jenis bukan sebagai objek seks” atau dalam bahasa gerakan kaum perempuan “melihat perempuan bukan sebagai objek seks,” jadi sebenarnya mencegah pelecehan terhadap lawan jenis, terutama perempuan, bisa dimulai dari diri kita masing-masing. Jangan salahkan lawan jenis Anda, salahkah diri Anda sendiri yang tidak mampu secara sadar mengontrol kerja otak Anda sehingga berkhayal dan “senjata” Anda menegang. Dengan demikian tersedia beberapa pilihan: mau melihat, silahkan, tapi jangan dijadikan objek seks oleh khayalan-khayalan Anda; Namun, jika Anda tidak termasuk orang yang secara sadar dapat mengontrol daya khayali otak Anda, sebaiknya Anda mengikuti jejak para sufi yang biasanya sangat hati-hati dan takut tak kuat untuk tidak berkhayal, oleh karena itu mereka melihat lawan jenis pun tidak mau. Atau kalau Anda tidak sengaja melihat, cepat-cepat berpaling. Pedoman ini juga berlaku ketika Anda membaca buku, mendengar radio, melihat gambar, dan menonton televisi, VCD, DVD serta film-film layar lebar. Tentang pandangan kaum sufi ini, Ibn Katsir berkomentar: “وقد شددّ كثير من أئمة الصوفية في ذلك وحرمه

Ibn Katsir menjelaskan bahwa manusia mempunyai kemampuan bermacam-macam. Ada yang mampu melihat lawan jenis tanpa bernafsu birahi. Tapi ada juga yang ketika melihat lawan jenis tidak mampu mengontrol otaknya untuk berkhayal sehingga bernafsu dan berbirahi. Oleh karena itu, berdasarkan perdebatan para ulama tentang mata dan penglihatan, beliau membagi penglihatan kedalaman dua macam: (1) Melihat lawan jenis dengan nafsu; dan (2) Melihat lawan jenis tanpa nafsu. Tetapi, mereka para ulama itu berpendapat bahwa yang mempunyai kemampuan melihat lawan jenis tanpa syahwat itu adalah perempuan. Mereka tidak percaya bahwa laki-laki mempunyai kemampuan itu. Ibn Katsir menjelaskan:

ذهب كثير من العلماء إلى أنه لا يجوز للمرأة النظر إلى الرجال الأجانب بشهوة ولا بغير شهوة أصلاً، واحتج كثير منهم بما روي عن أم سلمة أنها كانت عند رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم وميمونة، قالت: فبينما نحن عنده أقبل ابن أم مكتوم فدخل عليه وذلك بعدما أمرنا بالحجاب، فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “احتجبا منه” فقلت: يا رسول اللّه أليس هو أعمى لا يبصرنا ولا يعرفنا؟ فقال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: “أو عمياوان أنتما؟ ألستما تبصرانه” (أخرجه أبو داود والترمذي وقال الترمذي: حديث حسن صحيح). وذهب آخرون من العلماء إلى جواز نظرهن إلى الأجانب بغير شهوة، كما ثبت في الصحيح أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم جعل ينظر إلى الحبشة وهو يلعبون بحرابهم يوم العيد في المسجد، وعائشة أم المؤمنين تنظر إليهم من ورائه وهو يسترها منهم حتى ملّت ورجعت،

Jadi Ulama berbeda pedapat tentang kemampuan perempuan melihat lawan jenis tanpa syahwat:

Mereka yang berpendapat bahwa ….

Mereka yang berpendapat bahwa..

Bagaimana dengan para fuqaha? Para fuqaha biasanya lebih suka mengurusi yang zahir-zahir saja, pembahasan mereka tidak masuk ke dalam wilayah batin jika sudah menyangkut hukuman (sanksi) apa yang harus dijatuhkan kepada seseorang karena perbuatannya. Cara berfikir kaum fuqaha adalah bahwa seseorang yang berbuat melanggar hukum dapat diberikan sanksi jika memang terbukti. Bentuk bukti, menurut mereka, adalah hal-hal yang zahir. Mereka merujuk kepada hadis Rasulullah saw “nahnu nahkumu bi al-zahir,” yakni bahwa hukum itu menuntut pembuktian yang zahir. Dalam bahasa hukum positifnya, bukti itu harus objektif-faktual.

Ketika membahas zina (baca: bukan mendekati zina), para fuqaha berbicara sangat rinci mulai dari definisi, pembuktian, sampai hukumannya. Karena mereka paham betul bahwa hukuman itu bukan masalah sepele, tapi menyangkut harga diri dan nasib seseorang. Oleh karena itu perbuatan yang dipandang melanggar hukum haruslah dapat dibuktikan.

وعن أبي سعيد الخدري قال: (بعث علي عليه السلام وهو باليمن إلى النبي صلى اللَّه عليه وآله وسلم بذهبية فقسمها بين أربعة فقال رجل: يا رسول اللَّه اتق فقال: ويلك أولست أحق أهل الأرض أن يتقي اللَّه ثم ولى الرجل فقال خالد بن الوليد: يا رسول اللَّه ألا أضرب عنقه فقال: لا لعله أن يكون يصلي فقال خالد: وكم من مصلي يقول بلسانه ما ليس في قلبه فقال رسول اللَّه صلى اللَّه عليه وآله وسلم: إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس ولا أشق بطونهم).

مختصر من حديث متفق عليه.

Dalam riwayat lain,

الحديث أخرجه أيضاً مالك في الموطأ وفيه دلالة على أن الواجب المعاملة للناس [ص 369] بما يعرف من ظواهر أحوالهم من دون تفتيش وتنقيش فإن ذلك مما لم يتعبدنا اللَّه به ولذلك قال: (إني لم أومر أن أنقب عن قلوب الناس) وقال لأسامة لما قال له إنما قال ما قال يا رسول اللَّه تقية يعني الشهادة: (هل شققت عن قلبه) واعتباره صلى اللَّه عليه وسلم لظواهر الأحوال كان ديدناً له وهجيراً في جميع أموره منها قوله صلى اللَّه عليه وسلم لعمه العباس لما اعتذر له يوم بدر بأنه مكره فقال له: (كان ظاهرك علينا) وكذلك حديث: (إنما أقضي بما أسمع فمن قضيت له بشيء من مال أخيه فلا يأخذنه إنما أقطع له قطعة من نار) وكذلك حديث: (إنما نحكم بالظاهر) وهو وإن لم يثبت من وجه معتبر فله شواهد متفق على صحتها ومن أعظم اعتبارات الظاهر ما كان منه صلى اللَّه عليه وسلم مع المنافقين من التعاطي والمعاملة بما يقتضيه ظاهر الحال.‏

Berdasarkan pemahaman hukum seperti ini, para fuqaha aliran “ إنما نحكم بالظاهر,” tidak mau bicara tentang hukuman bagi orang yang melakukan perbuatan “mendekati zina” karena pembuktian bahwa seseorang sedang berkhayal, bernafsu birahi adalah sulit dan hampir tidak mungkin. Kita tidak etis menginterogasi apa yang di otak seseorang dan meminta orang membuka celana dalamnya untuk mengetahui apa yang bersangkutan sedang terangsang. Jadi, RUU dan Perda-perda di atas lebih mewakili ajaran sufi yang ‘tersesat’ ke dalam bentuk hukum positif sehingga tidak jelas dan malah merugikan perempuan, bukan Islam-fiqh-yang-positivis.

Kesimpulan

Berbagai hukum tentang pornografi di berbagai negara di dunia dapat menjadi pelajaran bagi kita untuk mengarahkan sasaran tembak yang jelas, yaitu: (1) mengatur komersialisasi pornografi; (2) perlindungan terhadap anak-anak di bawah umur; dan (3) perlindungan terhadap kaum perempuan. Sedangkan RUU APP terlau banyak sasaran tembaknya, mulai cara berpakaian sehari-hari, pergaulan, pertunjukan (pornoaksi) sampai industri media massa cetak dan elektronik (pornografi). Dan semuanya itu diatur dengan standar nilai yang bias mayoritas.

Pornoaksi adalah bagian yang paling krusial, tingkatan kontroversinya sampai sejajar dengan pembahasan dasar negara pada awal berdirinya negara kesatuan ini karena tidak sesuai dengan prinsip ke-Bhinneka-an. Saya kira, bagian yang ini tidak perlu diatur oleh Pemerintah pusat. Pornoaksi cukup diatur oleh pemerintah daerah jika dianggap perlu oleh semua unsur masyarakat setempat, tentunya tetap dengan semangat yang demokratis dan tidak diskrimintif.

Pemerintah pusat cukup mengatur aspek-aspek komersial dari pornografi yang perizinannya harus dari pemerintah pusat. Aspek ini sebenarnya telah diatur oleh sejumlah produk legislasi lainnya, seperti KUHP, UU Pers, UU Perfilman. Tentang perlindungan anak, sebenarnya Pemerintah Pusat sudah punya UU Perlindungan Anak. Mengenai perlindungan terhadap perempuan, sudah ada UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Pemerintah juga dapat memberikan perlindungan dan kepastian hukum kepada perempuan dari segala bentuk praktek pornografi dengan mengesahkan RUU Tindak Pidana Perdagangan Orang dan RUU Perlindungan Saksi. Jadi, pemerintah pusat tidak perlu merancang dan menetapkan UU khusus tentang pornografi. Oleh karena itu, mari kita sempurnakan perundang-undangan yang sudah ada dengan melakukan revisi.


# Penulis adalah Pembaca Filsafat Hukum, meraih MA in Philosophy (Filsafat Barat) dari Department of Philosophy, University of Nottingham England 2004.


[1] http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=74149 –>

[2] http://www.lkht.net/artikel_lengkap.php?id=11Cybercrime
M. Sofyan Pulungan tayang: 31/7/2004
PORNOGRAFI, INTERNET DAN RUU IETE

[3] RUU Anti Ponrografi dan Pornoaksi saya ambil dari http://www.lbh-apik.or.id/ruu-pornografi.htm

[4] http://pde.gorontalo.net/perundangan/perda/perda2003/Perda%2010%202003.pdf.

[5] Kompas, 4 Maret 2006.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar